Kamis, 06 Desember 2012

Russel Beserta Mimpinya part 4


IV Russel Beserta Mimpinya


“Ayah.” Russel berjalan cepat ke arah Ayahnya yang sudah bersiap-siap di ruang tamu. Liza dan Alex mengawasinya dari gerbang, jantung mereka berdegup kencang.

“Ayo, Russel, persiapkan barang-barangmu untuk pergi.” Ayahnya berkata kepadanya.

No, Dad. Aku…aku ingin tetap tinggal di sini.”  Russel memandang Ayahnya dengan perasaan takut, namun teringat kepada kata-kata Alex.

Apakah kau mau, membayangkan dirimu lima tahun lagi stress karena tidak bisa menikmati pekerjaanmu? Padahal kesempatan sudah di ambang pintu!

“Russel, apa yang kau bicarakan? Kau harus pergi ke Beijing demi meneruskan posisi Ayahmu.” Tuan Woods berkata tajam.

“Ayah, aku tidak ingin menjadi seorang pengusaha bisnis sepertimu.” Russel mengepalkan kedua tangannya.

“Jika kau terus-menerus bersikap seperti ini, apa yang akan terjadi ke perusahaan keluarga ketika Ayah sudah tiada? Apakah akan hancur? Atau mengalami kebangkrutan? Nama keluarga ‘Woods’ tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang penuh hormat, prestis dan berkuasa lagi. “

“Oh, begitu ya, Ayah. Ayah lebih menyayangi perusahaan dan nama keluarga dari pada anaknya sendiri?” Russel menyipitkan matanya. Nafasnya makin memburu. Ia tidak percaya ia mengatakan ini di  depan Ayahnya sendiri.

“Bukan, Russel! Ini demi masa depan keluarga dan—“

“Bagaimana Ayah berpikir masa depan keluarga sementara masa depan putramu sendiri tidak diperhatikan?!” Mata Russel mulai berlinang-linang. “Mungkin bisa saja masa depan keluarga menjadi cemerlang, tetapi aku akan menyesal mengapa aku memilih untuk mengikuti paksaan Ayah! Aku memiliki mimpi, aku memiliki mimpi untuk menjadi seorang arsitek, Yah! Lihat ini! Lihat ini baik-baik!”  Russel mengacungkan gambar-gambar bangunan yang selama ini ia kerjakan.

Ayahnya terkejut saat mengamati karya-karya putranya. Kini satu tetes air mata bergulir menuruni pipi Russel.

“Sejak aku berumur sepuluh tahun, aku ingin menunjukkan semua karya-karyaku dan mimpi apa yang aku miliki. Tetapi, Ayah selalu berada di kantor atau sibuk berada di luar negeri, menandatangani kontrak dan perjanjian perusahaan…Ayah tidak pernah bersenang-senang denganku, bertanya ‘Kau ingin jadi apa, nak?’ kepadaku seperti ayah-ayah yang lain. Ayah malahan selalu memaksaku untuk meneruskan posisimu setiap kali aku ingin mengutarkan mimpiku, dan menghancurkan setiap persahabatan yang aku baru buat di tempat yang kita datangi.” Russel menarik ingusnya dan berusaha mengendalikan diri.

“Dari mana kau mendapat semua dorongan ini?” Ayah Russel bertanya sambil mengerutkan kening.

“Semua…semua dari teman-temanku yang disana.” Ia menunjuk ke arah gerbang, dimana Alex dan Liza berdiri.  “Merekalah yang mendorongku untuk berani memberitahu Ayah bahwa aku memiliki mimpi. Aku tidak mau, persahabatanku yang aku buat kali ini, hancur sia-sia.”

Mata Ayah Russel mulai memancarkan sinar lembut. “Russel, kau benar. Selama ini Ayah tidak pernah menghabiskan waktu bersamamu. Ayah juga tidak pernah menanyakan apa mimpimu. Ayah sekarang mengerti, semua yang kau maksudkan,” ia menarik nafas dalam-dalam.

“Ayah selalu mengkhawatirkan masa depanmu akan seperti apa, makanya Ayah memaksamu untuk menjadi pengusaha dan berubah menjadi seseorang yang ambisius. Aku tidak menyangka bahwa aku malah menyakiti putraku sendiri…” Ayah Russel berkata, dan ia serius dengan setiap kata yang ia ucapkan.

Russel menyeka air matanya. Sang ayah merangkulnya. Russel tahu, saat-saat inilah yang ia dambakan selama hidupnya.

“Maafkan Ayahmu, Russel. Aku sudah bersalah terhadap putraku sendiri. Kau boleh tinggal di Washington. Yang paling penting adalah, Ayah sekarang bisa melihatmu berbahagia dengan mimpimu untuk menjadi seorang arsitek dan berterimakasih kepada teman-temanmu yang menanamkan keberanian dalam-mu. I’m proud of you, son.  Ayah Russel tersenyum bangga dan melepaskan rangkulannya.

“Ah, permisi, Tuan Woods. Pesawat anda sudah menunggu di bandara…” salah seorang pelayannya mengingatkannya.

“Wah, saya lupa.” Tuan Woods melirik arloji dan tergesa-gesa mengambil kopernya.

“Ayah akan hadapi masalah di Beijing dahulu, kita akan bersenang-senang bersama setelah Ayah kembali ke Washington. Sampai bertemu minggu depan, Russel.” Ia menepuk bahu putranya. Sekali lagi, ia tersenyum penuh arti ke arah Russel dan masuk ke dalam mobil yang meluncur ke jalanan.

Dua sosok yang Russel tidak akan pernah lupakan berlari-lari ke arahnya dan berteriak, “KAU BERHASIL!!!!”. Lagi-lagi Russel langsung menerima dua paket jeritan heboh serta rangkulan erat, nyaris membuat jantungnya meledak. Kali ini ia balas merangkul Liza dan Alex, teman-teman yang mengubah hidup dan masa depannya.
***
Russel terduduk di bangku taman sekolah. Ear phone terpasang di kupingnya. Ia tersenyum puas sambil menggambar pemandangan taman. Di situ ia menambahkan sosoknya, Liza dan Alex yang berbaring di rumput, menatap langit.

“Hellooo!!” Alex dan Liza menabrak punggungnya dari belakang sehingga Russel tersentak kaget.

“Aduh! Ada apa, sih?” Russel memutar kepalanya. Kepala Alex menggantung di pundak kirinya, serta milik Liza di pundak kanan.

“Habis ini ada acara, tidak?” Liza bertanya, dan Alex menangguk-anggukkan kepalanya.

“Jangan bilang kalau kalian akan mengajakku untuk naik roller coaster atau makan ramen dituangi sambal segunung.” Russel menutup buku sketsanya.

“Bukan. Kali ini surfing di pantai!” Mata Alex berbinar-binar.

“Alex, tolong berpikir dengan akal sehat.” Russel menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa geli. 

“Coba pikirkan, udara sedingin ini, salju sudah mulai bertaburan, masak masih mau berselancar?”

“Tapi, itu pasti jadi seru, kan? Di saat cuaca yang membuat kita ingin meringkuk dalam selimut dan malas keluar rumah, kita malah harus mencoba sesuatu yang menantang!” Alex sudah membayangkan ia akan berselancar sambil mengenakan pakaian lengkap untuk musim dingin.

“Jangan, Alex! Nanti kalau Russel mati, kita pasti harus menanggung biaya pemakamannya yang terlalu mewah,” Liza mengguncang-guncangkan lengan Alex dengan wajah penuh horor.

Russel tertawa terbahak-bahak, mendengar kekhawatiran Liza.

“Bagaimana kalau kita karaoke?” Liza menyarankan. “Nanti aku akan menunjukkan Russel kemampuan bernyanyiku!”

“Kemampuan bernyanyi apaan? Suaramu kalau menyanyi malahan terdengar seperti kucing terjepit pintu!” Alex berkomentar.

“Ah, terserahlah.” Liza mengibas-kibaskan tangannya. “Pokoknya nanti sore, Russel bisa tidak?”

“Wah, sayang aku tidak bisa.” Russel mengintip arlojinya.

“Yah… Kenapa?” Liza dan Alex serentak bertanya, tubuh mereka menjadi bungkuk.

Russel melihat Swiss Army-nya. “Karena sebentar lagi aku akan—“ kalimatnya tersela dengan suara klakson mobil yang datang. Ia menengok ke arah sumber suara.
Kaca mobil pengemudi itu terbuka. “Ayo, Russel!” kata si pembawa mobil sambil tersenyum lebar ke arah Russel, lalu ke Liza dan Alex.

“Ah, itu ayah sudah menjemputku,” wajah Russel menjadi terang. Ia membereskan barang-barangnya dengan ligat.

“Eh, ayahmu sudah pulang?” Liza bertanya canggung karena ia tahu bahwa mereka sedang diperhatikan dari jauh oleh Tuan Woods.

“Baru kemarin.” Russel memasukkan buku gambarnya ke dalam ransel, lalu menutup zipper dengan sekali tarikan. “Oke, aku pergi dulu!” ia berlari menuju pintu mobil.

“Mau pergi ke mana?” Alex berteriak agar Russel bisa menedengarnya.

“Ke pameran arsitektur,” Russel menyahut. Ia masuk ke dalam mobil.  “Bye!” ia melambaikan tangannya melalui kaca mobil, memperhatikan Liza dan Alex yang membalas lambaiannya.

Russel bersandar dan menyunggingkan sebuah senyum. Ia benar-benar berhutang budi kepada Alex dan Liza, kakak-beradik yang nyentriknya minta ampun. Jika tidak ada mereka, tidak mungkin ia mencapai saat-saat ini. Tidak mungkin ia bisa menjadi orang yang memiliki keinginan kuat serta percaya diri. Tidak mungkin ia berubah dan bertumbuh sampai sedewasa ini.

Kini hidupnya diwarnai oleh kebahagiaan, maupun yang berasal dari keluarga atau dari teman-temannya. Ia melirik Ayahnya yang sedang mengemudi untuk dia. Semua gara-gara Liza dan Alex, orang-orang yang mewujudkan mimpi dan segala hal yang Russel dambakan sejak dahulu.

Sekarang ia melirik kaca spion. Russel melihat sebuah kerlip kecil yang familier, berasal dari Alex. Figur dua orang itu makin lama makin mengecil, karena mobil Russel sudah menderu kencang di atas jalanan Washington.
*E.D.K.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar