Kamis, 06 Desember 2012

Russel Beserta Mimipinya part 3


III Hanyut Terbawa Arus


“Hoi! Kau melamun apa?” Alex menjitak kepala Russel dari belakang.
Russel tersentak  dari lamunannya, mengalihkan pandangan dari bangunan megah yang terletak di depan pekarangan sekolah. Alex sudah berdiri di samping meja kelasnya.

“…Nothing.” Russel beranjak berdiri dan mulai memberes-bereskan buku pelajaran serta menyembunyikan gambar pekarangan sekolah yang ia diam-diam buat saat pelajaran. Sekolah sudah selesai.

“Sehabis ini ada acara, tidak?” Alex mengenakan mantel hijau neonnya.

“Tidak ada, tetapi dalam sepuluh menit aku harus pulang karena—“

Come on!” Alex menarik lengan Russel yang terkejut.

Russel sebenarnya tidak mau ikut, tetapi teringat kembali oleh niatnya semalaman. Ia akhirnya membiarkan dirinya dibawa oleh Alex.

“Mau kemana kita?” Russel berlari mengikuti Alex.

“Menyusul Liza dan Isezaki!”

“Dimana?”

“Di sini!” Alex mendorong Russel masuk ke dalam kedai kecil Ramen murahan.

Isezaki dan Liza sudah berada di dalam , memandangi  Russel yang terheran-heran melihat penampilan kedai yang sederhana.

“Duduk sini dong!” Liza memaksa Russel untuk duduk di kursi plastik berwarna norak.

“Nih, aku memesankan Ramen spesial untuk Russel.” Isezaki menyodorkan piring berisi mie yang masih mengebul-kebul dihiasi Tempura di atasnya.

Russel menerimanya dengan canggung. “…Terimakasih…”

Mereka semua mulai makan. Russel menyumpit Ramen-nya, mencium aromanya terlebih dahulu.

“Ih…baunya aneh.” Ia bergumam kepada dirinya. Baunya membuat perutnya terasa mual.

“Makan saja, nanti lama kelamaan juga suka kok.”  Liza berkata riang.

Russel menyumpitkan sedikit Ramen masuk ke dalam mulutnya. Ia menelan itu seperti kertas karton.

“Bagaimana rasanya?!” Liza tidak sabar bertanya.

“…Yuck.” Russel mengecap-kecap lidahnya, dan meraih botol minumnya.

“Jangan! Tambahkan ini!”  Alex menuangkan tiga sendok saus sambal ke dalam mangkok Russel.

“Ap—!“Russel mulai marah-marah, tetapi sudah terlambat karena Alex sudah terlanjur memasukkan Ramyun ke dalam mulutnya.

“HUAAAHH!” wajah Russel memerah, dan langsung berkeringat. “Air!Air!” 

Bukannya mencarikan air minum, Alex malahan buru-buru meraih kameranya.
***

“Kau tidak pernah makan Ramyun seperti tadi?” Mata Liza menjadi semakin lebar setelah mengetahui  bahwa tadi adalah pengalaman pertamanya memakan Ramyun di kedai murahan. Ia juga kaget mendengar latar belakang keluarga Russel.

Russel mengangguk-angguk canggung, tetapi mulutnya masih kepedasan jadi ia harus meneguk air minum setiap tiga puluh detik.

“ Mengapa bisa? Padahal ‘kan Ayahmu pengusaha kaya.” Alex bertanya sambil mereka berjalan pulang, mengantarkan Russel ke rumahnya.

“Ia tidak pernah memperbolehkanku datang ke kedai-kedai semacam itu, dan, yah…katanya itu tidak baik dilihat jika…seorang anak kaya makan di tempat seperti tersebut.” Russel menundukkan kepalanya.
Alex dan Liza terdiam. Hanya terdengar suara tapak kaki mereka serta klakson kendaraan dari kejauhan.

“Maksudku bukan begitu!” Russel buru-buru menambahkan, melihat ekspresi kedua temannya.

“Aku selalu menginginkan untuk datang ke tempat-tempat seperti itu, bermain bersama anak-anak biasa, menjadi mandiri tanpa pelayan, dan…”

“Kau, merasa senang bisa bersahabat dengan kami?” Liza bertanya pelan.

Russel terhenti di tempatnya, terkejut dengan pertanyaan itu. Beberapa hari yang lalu, ia sudah membulatkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun. Kemarin malam, ia terlanjur memutuskan untuk bersikap baik kepada kakak beradik ini. Namun sekarang? Ia rasa ia sudah terbawa terlalu jauh. Persis seperti orang yang hanyut dalam arus sungai dan tidak menemukan pegangan yang ia bisa raih untuk kembali ke tempat semula.Kenangan masa lalunya terbesit di otaknya, menampilkan wajah-wajah suram teman-temannya ketika ia mau berangkat ke London.

“Russel?” Alex menyadarkan dia dari pikirannya.

Russel buru-buru berjalan lagi. “Senang bersahabat dengan kalian?” ia mengulangi pertanyaan Liza.

Kedua temannya menatap Russel dengan penuh semangat, mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Begini, awalnya, aku…mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan saat aku dulu di Texas,” Russel memulai ceritanya. Ia senang diperhatikan oleh Alex dan Liza yang menyimaknya dengan seksama.

“Akhirnya setelah aku menginjakkan kakiku di Washington Junior High,” Russel mengakhiri pengalamannya 
“aku membulatkan tekad untuk tidak berteman dengan siapapun, hanya karena takut menyakiti hati kalian.” 
Ia menendang sebuah kerikil dan tertawa, menyadari dirinya selama ini adalah seorang pengecut.

Teman-temannya memandangnya takjub. Liza mulai membuka mulutnya untuk berkomentar bahwa ia belum pernah melihat Russel tertawa sebelumnya, tetapi Alex membuat tanda untuk tetap diam.

“Kemudian, lama kelamaan…rasanya aku menjadi semakin nyaman saat mulai bersikap baik dengan kalian. Aku sebenarnya sangat bahagia saat mengetahui kalian gembira menerimaku menjadi seorang sahabat, meskipun aku orangnya sinis, arogan dan pendiam.” Russel mulai tersenyum malu.

“Baguslah kalau begitu!” Alex merangkul pundak Russel dengan tangan kirinya.

“Tetapi, aku akan pindah ke Beijing dua bulan lagi…” senyum Russel menguap.

“Hah?! Mengapa?” dahi Liza berkerut.

“Iya, mengapa?!” Alex memprotes.

“Lagi-lagi urusan bisnis Ayah. Ia memaksaku untuk meneruskan posisinya, padahal aku tidak mau menjadi seorang pengusaha bisnis.”

“Jadi, kau ingin jadi apa?” Liza bertanya.

“Aku ingin menjadi seorang aristek.” Russel berkata mantap. Lebih mantap dari pada hawa dingin yang menyelimuti Washington. “Coba lihat ini.” Russel membuka buku sketsa yang ia keluarkan dari tas.

“Wah! Hebat sekali!” Liza memandangi sketsa bangunan yang terpapar di tiap lembar kertas.

“ Ini patut diabadikan!” Alex meraih kameranya dan mengambil gambar hasil karya-karya Russel.
Russel berusaha menyembunyikan senyum bangganya.

“Hey, mengapa kau tidak bilang ke Ayahmu bahwa kau ingin menjadi arsitek?” Liza bertanya.

Ponsel Russel tiba-tiba berdering. Ia mengangkatnya dengan terburu-buru. “Ya?...Oh, ada apa, Ayah?” nada Russel menurun, demikian juga pundaknya. Ia terdiam untuk satu menit, menyimak Ayahnya. Wajahnya berubah menjadi murung. “Tetapi, mengapa? Mengapa harus nanti malam?...Aku tidak menginginkan itu, aku ingin tetap di Washington…Halo, Ayah? Ayah?” sambungan telpon terputus.

“Ada apa?” Liza dan Alex bertanya serentak.

“Malam ini aku akan berangkat ke Beijing karena ada perubahan saham di sana.” Russel menggigit bibir bawahnya. Ia mulai panik.

“ Tenang, tenang. Kau tidak ingin pergi, ‘kan?” Alex bertanya sambil memandang Russel dengan penuh arti.

“Tidak.” Russel menjawab pahit.

“ Kau masih mau dipaksa untuk menjadi pengusaha?”

“ Tidak.”

“Apakah kau mau, membayangkan dirimu lima tahun lagi stress karena tidak bisa menikmati pekerjaanmu? Padahal kesempatan sudah di ambang pintu!”

“Tidak, aku…tidak mau membayangkan itu!” Mata Russel mulai berapi-api.

“ Jika begitu, buktikanlah kepada Ayahmu bahwa kau memiliki cita-cita!”

“Kau pasti bisa, Russel.” Liza menatapnya dengan yakin.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar