Kamis, 06 Desember 2012

Russel Beserta Mimpinya part 1


I Secarik Kertas Permohonan Maaf


Russel melirik jam tangan Swiss Army-nya. Sudah jam tujuh pagi di musim dingin, dan supirnya tak kunjung datang. Ia menghembuskan nafas kesal. Padahal sekolahnya dimulai tiga puluh menit lagi.  Russel membenci orang yang tidak tepat waktu, apa lagi di hari pertama ia masuk ke sekolah pindahannya di Washington. Menunggu sambil menggambar sketsa bangunan di dalam buku gambarnya pun juga tidak cukup.

“Catherine, telponkan Houston sekarang!” ia membentak pelayan pribadinya.

“Baik, tuan.” Catherine langsung menyambar gagang telpon ruang tamu dan menelpon orang yang tuannya tunggu-tunggu.

Beberapa menit kemudian, ada figur seorang lelaki datang mengendarai motor. Ia berhenti dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Russel yang menatapnya bengis.

Pria yang bernama Houston membuka mulutnya. “Selamat pagi, tuan. Maaf saya terlambat karena…”

“Sudah tiga kali terlambat, masih saja mau minta maaf. “ Russel memalingkan pandangannya dari Houston, dan mengencangkan jaket bulunya.“ Keluarkan porsche-ku dari garasi. Dalam hitungan lima menit, kita sudah harus berada di jalan utama menuju Washington Junior High. Mengerti?” ia berkata dengan tajam.

“Saya mengerti tuan.” Houston langsung berlari menuju garasi yang berisi enam mobil. Dua dari lima mobil itu milik Russel.

Ketika Porsche Russel sudah berada di depan Russel, ia beranjak masuk ke dalam mobilnya. Sebelumnya, ia memastikan bahwa barangnya tidak ada yang tertinggal.

Catherine membungkuk ke arah Russel saat ia sudah berada dalam mobilnya sebelum pintunya ditutup. 

“Selamat jalan tuan. Berhati-hatilah di jalan dan semoga—“

Pintu mobil langsung ditutup oleh Russel yang tidak menghiraukan perkataan Catherine dan melesat menuju jalan utama. Ia segera memasang headphone Schinzer dan menyetel volumenya keras-keras. Lebih keras dari yang ia butuhkan untuk menghilangkan suara Catherine yang terngiang-ngiang dari otaknya dan alasan konyol  Houston mengapa ia terlambat . Ia sekarang hanya bisa mendengarkan deru Porschenya samar-samar.

Mata Russel menangkap pemandangan pepohonan yang sudah gugur daunnya.  Ingatannya memancarkan adegan semalaman antar dia dan ayahnya bertengkar. Ia masih mengenang bagaimana  Ayahnya, sang presiden perusahaan bisnis keluarganya, memaksanya untuk meneruskan posisinya. Padahal ia tidak memiliki minat sama sekali untuk itu. Ibunya juga sibuk menjalankan bisnis, dan keduanya tidak memiliki waktu untuk Russel. Ia hanya menginginkan kasih sayang dari orangtuanya.

Ia juga heran mengapa keluarganya harus pindah ke Washington karena alasan bisnis. Padahal, Texas dan London sudah cukup baginya. Dan ditambah dua bulan lagi, ia akan keluar dari Washington dan ikut terbang ke Beijing bersama Ayahny. Ia disuruh untuk mulai mengikuti perkembangan perusahaan sambil bersekolah di sana. Hanya karena paksaan Ayahnya yang ambisius.

Russel mengeluarkan buku gambarnya dengan hati-hati. Ia tidak tahu mengapa gambar-gambar itu yang selalu meringankan pikirannya saat ia sedih, lesu, frustrasi atau tertekan. Ia tidak ingin menjadi seorang pengusaha bisnis, tetapi seorang arstiek. Russel tersenyum kecil melihat sketsa yang memenuhi setiap halamannya. Buku itu dipenuhi oleh desain-desain rumah, termasuk rumah yang ia tempati di Texas dan London.

 Setiap kenangan yang ia bangun di setiap kota selalu hancur, demikian juga pertemanannya. Russel mengingat bagaimana ia dulu bisa tertawa, bercanda dan menikmati setiap detik bersama teman-temannya di Texas. Lalu semuanya berubah menjadi gelap saat ia harus pindah ke London. Ia masih teringat betapa hancur hatinya saat ia harus pindah. Ia harus meninggalkan wajah-wajah teman-temannya, yang menatapnya dengan berkaca-kaca dengan kehilangan di kejauhan. Itu terlihat dari jendela pesawat Russel yang sedang lepas landas.

Dan sekarang ia berada di Washington. Ia merindukan kehidupannya dulu yang menyenangkan, penuh semangat dan bahagia bersama semua kawannya. Tetapi ia kembali teringat bahwa itu dulu. Sekarang sudah  berbeda.  

Sejak di London, ia memutuskan untuk tidak berteman, bersikap baik atau tertawa dengan siapapun. Ia sudah tahu betapa tidak enak namanya ‘perpisahan’ itu.  Biarkan orang memanggilnya ‘manusia tidak berhati’, tetapi yang penting ia tidak akan melukai hati siapapun atau hatinya. Russel menghela nafas, mendekap buku sketsanya dan memejamkan matanya untuk sesaat. Lehernya bersandar di  sandaran kursi yang beralaskan jaket bulunya yang hangat dan lembut.

Matanya mendadak terbuka karena mencium bau parfum norak Houston terkena air conditioner mobil. Lehernya berputar ke kanan. Dari kaca, terpampang pemandangan sebuah sekolah yang berukuran sedang. Anak-anak sekolahan bermain di pekarangan sambil tertawa dan tersenyum. Di papan bangunan itu tertulis:

Washington Junior High

Nama yang menarik. Menarik suasana tidak enak ke dalam diri Russel.

“Tuan, kita sudah sampai.” Houston berkata dan membukakan pintu mobil.

Russel menginjakan kakinya untuk pertama kalinya di tanah sekolah itu. Ia mengacuhkan murid-murid yang asik melakukan aktifitas. Ia hanya berkonsentrasi berjalan ke pintu masuk sekolah. Beberapa dari mereka melongo melihat penampilan Russel.

 Dari atas sampai ke ujung kaki ada headphone Schnizer, syal rajutan murni dari Eropa dengan benang terbaik, jaket bulu putih, jam Swiss Army, sarung tangan yang senada dengan syalnya, denim Levi’s, sepatu boots hitam yang menutupi mata kaki sampai di bawah lutut dan tas kulit Gucci berisi buku-buku.
Lalu ada sebuah bola basket melayang dan mengenai kepalanya. Russel terjerembab jatuh di depan semua anak.

“Tuan!”  Houston berlari ke arah Russel, tetapi sudah didahului oleh seorang anak perempuan bersyal ungu.

“Maaf! Maaf sekali! Ini gara-gara kakakku, dia melempar bola basket terlalu tinggi lalu menghantam kepalamu, padahal aku sudah memberitahunya agar untuk hati-hati, tetapi dia tidak mau mendengarkan, lalu bola itu naik ke atas saat dia melemparnya, lalu, lalu…” anak perempuan tersebut dengan spontan terbata-bata berkata  sambil menggerak-gerakkan tangannya, namun terhenti, teringat bahwa Russel masih dalam posisi terjerembab.

“Eh…biar kubantu berdiri.” anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke Russel yang menatapnya sinis.

“Tidak usah.” Russel membuang muka, hendak berdiri, tetapi terlanjur anak itu tetap menarik pergelangan tangannya untuk berdiri.

 Saat itu juga Russel kehilangan keseimbangan, tetapi untungnya pemilik syal ungu menahannya. Russel mendengus kesal, mengetahui perempuan ini tetap bersikeras untuk membantunya. Kemudian terdengar suara jepretan dan kerlip sebuah kamera dari depannya.

“Alex!” si anak perempuan itu berteriak ke seorang anak laki-laki yang bernama Alex. Terlihat cengiran nakal dari mulut si Alex, tetapi matanya masih ditutupi oleh kamera.

Mata Russel melebar. Pipinya merona dan berusaha cepat-cepat melepas pegangan anak keras kepala itu. 
Tetapi sia-sia. Pegangan yang semula terasa lemas di pergelangan Russel tiba-tiba berubah menjadi tegang. Russel mendongak dan menemukan anak yang menabraknya melotot ke arah Alex.

“Wah, posemu jelek sekali di sini, Liza.” Alex melepaskan kamera dari matanya, dan mengecek foto yang telah diambilnya.

“Enak saja mengambil foto tanpa minta izin!” anak yang bernama Liza melempar pergelangan tangan Russel dan berderap menuuju Alex. Ia langsung mencengkram kerah si fotografer.  Kakinya langsung menendang milik Alex.

Russel menatap Liza dengan ngeri, buru-buru beranjak dari tempatnya. Tetapi Liza berteriak “Tunggu!”
Russel menyipitkan matanya. Apa lagi? Tetapi bel sekolah sudah berbunyi. Russel memalingkan wajahnya dari Liza, dan mulai berjalan masuk sekolah.
***
Ketika matahari mulai naik di langit Washington, Russel terduduk lesu di kursinya sambil melamun ke luar jendela kelas. Pensilnya sibuk menggambari kertas soal aljabar dengan sketsa bangunan. Ia tak habis pikir mengapa gurunya repot-repot memperkenalkannya ,“Russel Woods yang berasal dari London”,  di depan kelas delapan. Dan lebih parah lagi, anak perempuan mengerikan tersebut bernama Liza tersebut berseberangan meja dengannya.

“Psst, Russel.” Liza berbisik ke arahnya, mencuri kesempatan ketika gurunya sedang menulis soal di papan.
Russel bergeming, seolah ia tidak mendengar apapun.

“Hey!” Liza melemparkan gumpalan kertas yang mendarat di kepalanya.
Russel melotot marah ke Liza, tetapi sepertinya Liza tidak memperdulikannya. Liza mengulurkan tangannya dan menarik telapak tangan Russel.

Badan Russel berubah tegang, makin merasa canggung dan malu karena ditonton oleh beberapa murid-murid lain.

“Nih.” Liza menaruh gulungan kertas kusut berwarna hijau di dalam telapak tangan Russel.
Russel menerima kertas itu dengan ragu-ragu. Ia membaca isinya. Yang benar saja.

Temui aku dan Alex di pintu gerbang sekolah. Kami akan mengajakmu bersenang-senang di sekitar Washington, sekaligus untuk mengubah wajah cemberutmu yang tidak keruan, seperti orang habis di-PHK! Itu semua untuk permintaan maaf atas kejadian tadi. J
LIZA xx

Russel melihat ke arah Liza yang sibuk menggigiti ujung pensilnya, bukannya mengerjakan soal latihan aljabar. Russel membaca ulang isi surat itu. Ia tidak percaya anak perempuan itu benar-benar serius. Tapi 
Russel sudah membulatkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun di Washington.

Beberapa jam kemudian, jam menunjukkan sudah pukul dua siang. Bel sekolah kembali berbunyi, dan Russel melangkah keluar kelas. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Kemudian ia mengenal sosok anak perempuan bersyal ungu melintas di depannya sambil bercakap-cakap dengan teman-temannya. Russel langsung mempercepat langkahnya untuk keluar dari gedung sekolah, dan menghindar dari Liza.

Russel mendesah puas. Sekarang ia sudah di halaman keluar. Yang hanya ia perlu lakukan sekarang adalah menyusuri jalan menuju pintu gerbang sekolah, masuk ke dalam Porschenya yang sudah menunggu di sana, dan melaju ke rumah sambil menggambar sebuah desain bangunan yang baru.

 Saat ia mau menginjakkan kakinya keluar pintu gerbang dimana Houston menunggu, lengannya langsung diseret oleh sepasang tangan dan terdengar bunyi jepretan kamera.

“Hey!” Russel berteriak ke arah si penyeret.

“Kau sedang menunggu kami bukan?” Liza bertanya riang, sementara Alex berdiri di belakangnya sambil memotret Russel yang diseret Liza.

“Kalian! Enak saja menyeret orang!” Russel berteriak marah dan meronta-ronta untuk dilepaskan. Persis seperti anak kecil. Percuma ia berkata seperti itu, karena kakak beradik heboh tersebut menggunakan penghangat kuping.

“Eh, Russel kenapa?” Alex bertanya heran, matanya terlepas dari kamera.

“Mungkin dia kena epilepsi?” Liza menggaruk-garuk kepalanya. “Aku akan menelpon ambulans kalau begitu.”

“Oh, bukan begitu, ia bilang ‘jalan-jalan nanti pasti enak!’” Alex berkata.

“Lepaskan aku!” mata Russel berapi-api.

“Dia bilang ‘Lepas landas yuk!’” Alex menyengir lebar.

“Kalau begitu, mau tunggu apa lagi sekarang? Ayo jalan!” wajah Liza berseri-seri. Ia dan Alex mulai menyeret Russel masuk ke dalam salah satu bus yang berhenti di depan mereka.

“Houston!” Russel berteriak ke arah supirnya, tetapi sepertinya Houston tidak melihat dia dan tidak mendengarnya sama sekali.

“Apa? Haus? Sabar, sebentar lagi saat kita sampai di sana akan ada banyak minuman!” Alex mendorongnya masuk bus.

***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar