Rabu, 17 Oktober 2012

Harta Sesungguhnya


Ketika bulan berlingkaran penuh terpampang di atas langit, ada sungai lebar yang masih mengalir dan memantulkan cahaya bulan ke sekitarnya. Ada sebuah kapal mewah dan besar  yang mengambang bebas di atas air. Kadang kapal itu terayun-ayun pelan saat diterpa ombak kecil, atau berguncang dengan keras saat ombak keras menghantam.

Samar-samar, terlihat dua sosok bayangan dari dalam jendela yang diterangi oleh lampu LED. Satu bayangan adalah perempuan, dan satunya laki-laki.

“Zircon, kamu harusnya seperti ini!” Onyx menukar kartu jack kakanya dengan as .

“Lho, bukannya yang itu lebih tinggi dari pada as ya?” Zircon bertanya kepada adik perempuannya.

“Bukan, masak lupa apa yang…ayah ajarkan dulu?” Onyx tertawa kecil.

“Aku tidak tahu mengapa…ayah…belum pulang dari proyeknya sekarang, padahal sudah tujuh tahun. Kabar yang ia berikan dua tahun lalu hanyalah ia harus meneliti lebih lama, dan memiliki sebuah rumah baru,” Ia berkata dengan nada yang biasa, tetapi matanya berlinang-linang air mata.

Zircon terduduk diam, menyingkirkan tumpukkan kartu yang ada di depannya. Keningnya berkerut samar. Untuk sesaat, hanya ada bunyi air mengalir serta serta diiringi suar jangkrik-jangkrik.

 “Aku tahu,” ia memulai “ini sangat sulit untuk kita…apa lagi ditambah...kematian ibu.”  Suaranya mulai bergetar, tetapi ia mengambil nafas dalam.

“Aku merindukan keduanya, meskipun kita sudah memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan yang dulu.”

“Sebentar lagi, Onyx, aku berjanji.” ia mendekap adiknya yang berkaca-kaca. “Kita akan segera berjumpa dengan ibu dan ayah kita. Jika saja kita bisa mempercepat proses pembuatan mesin waktu…”

Onyx yang terhibur dengan perkataan Zircon melepaskan pelukannya, “Aku harap ayah tidak keberatan melihat kita memakai kapalnya untuk percobaan.”

“Ia pasti bangga dengan kita.” Zircon menyengir. Ia menepuk-nepuk kepalanya yang berambut hitam 
kecoklat-coklatan.

Di pagi hari, seekor burung yang hinggap di jendela menemukan mereka bekerja dari semalaman.

“Onyx, coba lihat sini!” Zircon berkata dengan antusias, matanya yang hijau berbinar-binar.

Onyx berlari ke arah Zircon, “Apa yang terjadi?”

“Kita hanya memerlukan satu zat lagi untuk menyelesaikan mesin ini! Yang diperlukan hanyalah sesuatu yang memiliki kehidupan yang terdapat dari yang hidup, bisa menghidupkan barang yang mati, tidak akan teroksidasi dan terletak di dalam sumber zat itu… dan yang paling penting adalah elemen ini tidak mengandung besi dan tidak terbuat dari dua macam elemen.”

“Bagaimana dengan oksigen? Hanya memiliki suatu elemen, bisa menghidupkan, tidak mengandung besi, dan terdiri dari satu elemen.” Onyx menyarankan.

“Tapi dia tidak terkandung di dalam sumbernya kan?” Zircon menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal.

“…benar juga…” Onyx menybakkan rambutnya yang berantakan.  

“Kalau hidrogen?”

“Bukan.”

“Iodin?”

“Beracun, tetapi bisa menjadi antiseptik. Sama sekali tidak memberi kehidupan.”

“Sulfur! Tidak mungkin.” Zircon kembali termenung.

Dari pagi sampai malam mereka mencari tahu apa unsur yang mereka harus temukan, tetapi tidak sampai Onyx berteriak “Zircon! Ada kebakaran!”

“Apa?! Dimana pusatnya?!” matanya membelalak, seketika itu ia langsung berdiri meninggalkan komputer dan peralatannya.

“Di ruang kendali!”

Keduanya bergegas ke ruang kendali, tetapi sudah terlambat.  Meskipun pemadam api otomatis yang di atas langit-langit sudah berfungsi semaksimal mungkin, api sudah menjalar ke kiri dan kanan mereka, menghadang di setiap sudut. Warnanya bukan merah, melainkan biru yang berarti tingkat paling panas dalam api. Bau menusuk mulai menguasai ruangan.

“Mesin waktu kita, masih di ruang kerja…!” Onyx teringat seketika. Mata hijaunya memancarkan sinar horor.


“Jangan, pasti api sudah membakarnya. Hidup kita lebih berharga daripada sebuah mesin belaka…” Zircon berkata-kata, tetapi hanya ia sendiri tahu bahwa ia tidak rela.

Onyx kembali menatap ruang kerja mereka . Ia menatap kakaknya, ke ruang kerja, lalu kembali ke Zircon. Tatapannya sangat memohon, matanya menunjukan bahwa ia tidak memiliki harapan lagi.

Bagaimanapun juga, Zircon tetap menggelengkan kepalanya dengan berat ke arah adiknya, Onyx yang malang.Ia sudah membulatkan tekadnya untuk melindungi Onyx, meski Onyx meronta-ronta atau menangis demi mengambil mesin waktu itu, ia tetap akan menahannya. Onyx hanyalah satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Ia tidak mau Onyx menghilang dari hadapannya. Sungguh.

Zircon menarik tangan Onyx, berlari ke pintu keluar. Sebuah pilar terjatuh dan memblok jalan. Suaranya bagaikan ular yang berdesis keras, dan asap membius menyebar. Kedua itu membalikkan badan ke belakang, tetapi percuma saja. Dimana-mana ada api. Hanya ada satu pilihan tersisa.

“Onyx, mundur!” Zircon berteriak ke adiknya yang panik.

“Apa yang akan kau lakukan?!” Onyx terkejut. Saat itu juga, ia menyadari bahwa seorang kakak jauh lebih berharga dibandingkan mesin waktu. Tak sampai hati Onyx membiarkan satu-satunya orang yang ia sayangi melukai dirinya sendiri demi seorang adik perempuan yang tidak bisa apa-apa.

“Aku akan baik-baik saja.” Kakaknya membaca ekspresi wajahnya dengan serius.

Onyx dengan pasrah mundur. Dengan satu tendangan keras yang menggelegar, jendela kapal terpecahkan. Untunglah itu terbuat dari kristal, jadi tidak tajam.

“Lompat, sekarang!” Zircon menggenggam pergelangan Onyx, lalu terjun ke air sungai yang dalam, biru dan dingin. Kapal yang mereka tinggalkan seketika itu meledak, seperti bom yang dipersiapkan.

Dengan nafas tersenggal-senggal mereka berenang ke daratan. Zircon dan Onyx melempar diri mereka ke tepi. Semua basah kuyup. Dunia menyambut kedua saudara ini dengan dingin,  sama seperti angin yang berdesir kencang.Zircon dan Onyx saling bertatapan sambil menggigil. Mereka tahu tidak ada yang tersisa. Hanya sepotong harapan yang mereka kantongi.

“Jadi…apakah ini takdir? Apakah hilangnya seorang ayah dan matinya seorang ibu tidak cukup untuk kita? Bahkan sebuah mesin waktu, sebuah harta bernilai, juga turut terbakar…” Onyx memulai dengan suara serak. Bibirnya berubah menjadi biru, tetapi ia tidak memperdulikannya.

Zircon menatap tanah. Perasaannya bercampur aduk. Takut, kekhawatiran, rasa tidak aman dan kemarahan. Ia kembali teringat usaha yang mereka buat untuk membangun mesin waktu. Mereka mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan emosi, tetapi semuanya sia-sia. Ia sendiri tidak sadar setetes air mata bergulir di pipinya dan menetes di atas tangannya yang lecet.

Jadi…apakah ini takdir? Tidak. Ia melihat seorang gadis berambut hitam kecoklatan yang duduk di sebelahnya, bibirnya biru dan kulitnya pucat. Ia menatap dirinya di permukaan sungai. Keluarga inilah harta sesungguhnya, bukan sebuah mesin waktu. Mereka sudah berhasil melewati semua rintangan hidup, dan bertahan sampai akhir. Zircon tersenyum dan merangkul Onyx.

“Aku dan kamu…adalah harta sesungguhnya.” Ia berbisik dalam telinga Onyx.

Onyx demikian merasakan hal yang sama. Ia menangis tersedu-sedu.

“Apa yang terjadi? Apa—“ suatu suara asing masuk, tetapi tiba-tiba terhenti saat pemilik suara itu melihat sosok kedua orang itu.

Zircon dan Onyx memalingkan wajahnya ke asal suara itu dengan cepat. Mata mereka terbuka, mulut mereka ternganga. Zircon berdiri perlahan lahan, kemudian disusul Onyx. Onyx menggandeng tangan Zircon dengan erat, lalu saling bertatapan. Mereka tidak bisa berkata-kata, tetapi ada suatu perasaan yang tidak bisa dijelaskan muncul. Ya Tuhan…Ini tidak mungkin terjadi.

Zircon menatap orang tersebut dalam-dalam. Sebuah senyum terulas di wajahnya. Orang itu juga mulai tersenyum dengan sinar mata hijau yang lembut dan berkaca-kaca.

Kemudian Zircon  mengeluarkan satu kata. Kata yang sekarang tidak terdengar asing lagi.
“Ayah?”
*E.D.K.*


Sabtu, 13 Oktober 2012

School's First Official Puppet Show

Background making for JPA Puppet Show at my house :D
(left to right: Crizio, Timmy, Pauline, Tasya & Tiffany)
Dave & Kevin busy d



After the first official JPA Puppet show (5th Oct. 2012)




Rabu, 10 Oktober 2012

Kesimpulanku

Jariku melompat-lompat di atas keyboard laptopku yang terkena pancaran sinar lampu neon di atasku. Ketika aku mengetik aku menyimak semua suara di sekitarku.

Ada yang berbincang-bincang, ada yang tertawa, ada suara anak-anak bermain di bak pasir dan di sebelahku, ada seorang guru berkacamata yang sedang mengobrol dengan yang satunya meskipun dia megap-megap karena pedasnya sambal. Aku kadang suka bertanya-tanya mengapa semua ini terjadi. Lalu aku pikir-pikir, semua ini bisa berlangsung karena hubungan seseorang dengan yang lainnya.

Tiba-tiba, pikiranku tertuju kepada suatu kejadian di hari Selasa, tanggal 9 Oktober. Waktu itu, seusai sekolah ada seorang murid yang duduk di ruang tunggu. Nama dia berinisial M. M sedang berbicara kepadasalah satu temannya yang berinisial A. Kalau tidak salah, M sedang berbincang-bincang tentang persahabatan mereka.
"Lho, tapi kan kamu yang jadi pemimpin klub kita, A." kata M ke A.
A dan M tergabung dalam sebuah klub yang mereka ciptakan. Klub itu bernama BFF, atau Best Friends Forever. Dulu aku juga pernah melihat bahwa mereka membuat gelang khusus untuk peserta-peserta mereka.
Si A kembali menjawab, aku lupa waktu itu jawabannya apa.
"Pokoknya, kita nanti bakal inget ini sampai kita tua, sampai jadi nenek-nenek sama kakek-kakek." tambah M.
Lalu aku masuk menyela "Eh M, bukannya kalau kalian nanti kalau sudah besar bakal melupakan hal-hal seperti itu ya?"
"Oh, nggak bakal, Kak." dia menjawab sambil meringis, memamerkan sederetan gigi putih.
"Meskipun kalian sudah kuliah nanti tetap mengingat persahabatan kalian?" aku kembali bertanya.
"Iya"
"Meskipun berpuluh-puluh tahun kemudian kalian bakal ingat?"
"Iya."
"Sampai kalian sudah dewasa?"
"Iya.
"M jamin begitu?"
"Iya, kak." dia tertawa.

Aku terheran-heran dengan sikap anak ini. Aku sudah sering melihat dua orang sahabat menjadi sangat dekat, lalu saat mereka besar mereka akan melupakan satu sama lain. Ada juga dua sahabat karib yang berteman sejak kecil bertengkar karena suatu masalah sepele. Ada lagi yang musuhan karena kesalah pahaman.

Persahabatan itu sulit, karena kita harus melompati setiap rintangan yang salah satu dari teman terdekat kita buat. Menerima perbedaan juga tidak gampang, apa lagi jika salah seorang teman  kita terlibat dalam suatu  pertengkaran karena seseorang sifatnya bertolak belakang dengan kita. Belum lagi ditambah gosip-gosip yang diomongkan di belakang kita. Bahkan, aku yang lebih tua dari pada M tidak bisa bersikap tulus terhadap temanku sendiri.

Hari itu juga aku mengerti suatu pelajaran dari anak ini, bahwa jika kita mau menjalin persahabatan yang erat, kita harus bisa bersikap tulus kepada sahabat kita, meski dia menyakiti kita dengan sengaja atau tidak. Aku ngeri sendiri, membayangkan jika aku tidak bisa memaafkan salah seorang temanku. Sampai mati, aku pasti membawa rasa dendam dan hidupku tidak akan tenang. Ada sesuatu yang mengingatkan aku tentang Dia yang mau mati untuk orang yang berdosa dan untuk mereka yang menyakitinya.

Aku termenung. Untuk sesaat aku tidak memikirkan apa-apa, tetapi hal ini. Saat ini juga, aku membuat kesimpulan meski hal ini susah dan berat. Aku... akan mencobanya.

***

Senin, 01 Oktober 2012

Pengalaman Kakekku



Cerita Nyata Berdasarkan Pengalaman Albert Kalauserang
Oleh Esther Deborah K.

Matahari menembus jendela dapur rumah Kakek-ku dan menyinari kami berdua yang sedang berbincang-bincang di meja tentang pengalamannya.
Dulu Kakekku, Albert, bekerja di sebuah bank. Nama bank itu adalah Bank BNI, ia bekerja di unit 4. Pada tahun 1966 saat  “Ganyang Malaysia”, khususnya Makasar di daerah Sulawesi Selatan, debentuk pasukan sukarelawan. Dia masuk batalion Beruang (yang berisi dari bank-bank swasta dan pemerintah), resimen Alimalaka. Angkatan Kakekku disebut angkatan ke-5.

“Yang menariknya di situ,” ia bilang, “sukarelawan ditugaskan untuk melakukan operasi bersama-sama tentara.” Matanya mulai berbinar-binar. Operasi itu dinamakan “Pagar Betis”. Tujuan operasi itu adalah untuk memerangi Kahar Musakar (sekolompok pengacau). Sebelum itu, ia mengikuti pelatihan keras seperti pelatihan militer sungguhan.

Kemudian ia bersama kawan-kawannya memasuki pedalaman Sulawesi Selatan.
 “Ini sudah bukan latihan, ini benar-benar terjun ke dalam lapangan.” katanya sambil berbinar-binar matanya.

Ia ke suatu daerah yang disebut Tandru Tedong (yang berarti tanduk kerbau), Ana Banua. Tiap bulan ada pergantian angkatan. Kebetulan ia adalah angkatan ke-empat.Angkatan pertama, kedua dan ketiga memiliki musuh. Tetapi saat ia masuk, sudah tidak ada musuh untuk dilawan.

Karena tidak ada kerjaan, kakekku dan kawan-kawannya malah berburu burung. Peluru dibatasi, tapi karena mereka suka berburu, mereka membutuhkan peluru-peluru ekstra. Ingat baik-baik bahwa semua ini adalah orang-orang yang bekerja di bank dan memiliki uang yang banyak. Dari pada menunggu untuk peluru yang akan dibagikan berikutnya, mereka justru membeli peluru-peluru itu! Wah, peluru-peluru yang ia beli itu masih “baru-baru berwarna kuning.”

Pernah suatu hari, kakekku berburu burung Enggan. Karena burung enggan susah ditembak dan selalu mengelak, ia memiliki trik hebat. Ia mengunggu untuk burung itu terbang melewatinya dari belakang. Saat burung itu terbang melewatinya dengan “kecepatan maksimal” (seperti katanya), ia langsung menembak.

“Duar!” katanya sambil berseri-seri.

“Wah! Kira-kira berapa tuh beratnya?” Aku bertanya dengan entusias

“Kira-kira 5 kg.”

Aku tersenyum.  Saat ia melanjutkan ceritanya, aku bertanya burung itu diapakan. Ia menjawab bahwa malam itu ia makan-makan beserta teman-temannya.

Ada lagi cerita yang menarik. Suatu saat, ia berburu celeng (babi hutan). Ketika babi hutan itu tertangkap, ia memasak babi hutan tersebut dalam kaleng mentega (kaleng mentega jaman dahulu besar-besar, bisa dipakai untuk memasak). Katanya, ia “memasukkan bawang putih dan merah banyak-banyak, lalu diberi kecap!”

Kebetulan, ia menumpang di rumah seorang Bugis yang fanatik .

“Ini bau apa? Kok harum sekali?” kakekku menirukan cara bertanya pemilik rumah itu ke dia.

Karena ia tidak mengerti bahasa bugis, ia hanya menjawab “daging.”
Ada salah satu temannya yang ikut menumpang bersama dia, dan bisa berbahasa bugis. Dengan segera, temannya yang satu itu langsung memberitahu bahwa daging yang ia masak itu adalah babi

“Lalu pemilik rumah itu langsung muntah!” ia berkata, dan menirukan cara orang itu muntah.

Kakekku melarikan diri bersama seorang teman lagi. Temannya bernama Robert dan seorang Cina.

“Robert, lari!”
Mereka langsung melarikan diri dengan terbirit-birit sampai ke sungai sambil membawa kaleng mentega berisi santapannya itu. Lalu sesampainya di pinggir sungai, ia bersama Robert memnyatap makanan itu.

Setelah semua itu berakhir, ia kembali ke kehidupan biasa dan bekerja seperti pegawai normal. Ia menjual seluruh peralatannya termasuk ranselnya.

“Dapat banyak uang?” aku bertanya.

“Oh iya, lalu uangnya dibelikan untuk cincin pernikahan bersama nenek.” Ia menjawab, tersenyum lebar dan melirik nenekku yang kebetulan sedang lewat. Aku juga melirik nenek, ia hanya diam seolah tidak mendengar apa-apa.

Aku meringis lebar, geli melihat tingkah laku nenekku.
“Kemudian?” aku bertanya.

***