Senin, 01 Oktober 2012

Pengalaman Kakekku



Cerita Nyata Berdasarkan Pengalaman Albert Kalauserang
Oleh Esther Deborah K.

Matahari menembus jendela dapur rumah Kakek-ku dan menyinari kami berdua yang sedang berbincang-bincang di meja tentang pengalamannya.
Dulu Kakekku, Albert, bekerja di sebuah bank. Nama bank itu adalah Bank BNI, ia bekerja di unit 4. Pada tahun 1966 saat  “Ganyang Malaysia”, khususnya Makasar di daerah Sulawesi Selatan, debentuk pasukan sukarelawan. Dia masuk batalion Beruang (yang berisi dari bank-bank swasta dan pemerintah), resimen Alimalaka. Angkatan Kakekku disebut angkatan ke-5.

“Yang menariknya di situ,” ia bilang, “sukarelawan ditugaskan untuk melakukan operasi bersama-sama tentara.” Matanya mulai berbinar-binar. Operasi itu dinamakan “Pagar Betis”. Tujuan operasi itu adalah untuk memerangi Kahar Musakar (sekolompok pengacau). Sebelum itu, ia mengikuti pelatihan keras seperti pelatihan militer sungguhan.

Kemudian ia bersama kawan-kawannya memasuki pedalaman Sulawesi Selatan.
 “Ini sudah bukan latihan, ini benar-benar terjun ke dalam lapangan.” katanya sambil berbinar-binar matanya.

Ia ke suatu daerah yang disebut Tandru Tedong (yang berarti tanduk kerbau), Ana Banua. Tiap bulan ada pergantian angkatan. Kebetulan ia adalah angkatan ke-empat.Angkatan pertama, kedua dan ketiga memiliki musuh. Tetapi saat ia masuk, sudah tidak ada musuh untuk dilawan.

Karena tidak ada kerjaan, kakekku dan kawan-kawannya malah berburu burung. Peluru dibatasi, tapi karena mereka suka berburu, mereka membutuhkan peluru-peluru ekstra. Ingat baik-baik bahwa semua ini adalah orang-orang yang bekerja di bank dan memiliki uang yang banyak. Dari pada menunggu untuk peluru yang akan dibagikan berikutnya, mereka justru membeli peluru-peluru itu! Wah, peluru-peluru yang ia beli itu masih “baru-baru berwarna kuning.”

Pernah suatu hari, kakekku berburu burung Enggan. Karena burung enggan susah ditembak dan selalu mengelak, ia memiliki trik hebat. Ia mengunggu untuk burung itu terbang melewatinya dari belakang. Saat burung itu terbang melewatinya dengan “kecepatan maksimal” (seperti katanya), ia langsung menembak.

“Duar!” katanya sambil berseri-seri.

“Wah! Kira-kira berapa tuh beratnya?” Aku bertanya dengan entusias

“Kira-kira 5 kg.”

Aku tersenyum.  Saat ia melanjutkan ceritanya, aku bertanya burung itu diapakan. Ia menjawab bahwa malam itu ia makan-makan beserta teman-temannya.

Ada lagi cerita yang menarik. Suatu saat, ia berburu celeng (babi hutan). Ketika babi hutan itu tertangkap, ia memasak babi hutan tersebut dalam kaleng mentega (kaleng mentega jaman dahulu besar-besar, bisa dipakai untuk memasak). Katanya, ia “memasukkan bawang putih dan merah banyak-banyak, lalu diberi kecap!”

Kebetulan, ia menumpang di rumah seorang Bugis yang fanatik .

“Ini bau apa? Kok harum sekali?” kakekku menirukan cara bertanya pemilik rumah itu ke dia.

Karena ia tidak mengerti bahasa bugis, ia hanya menjawab “daging.”
Ada salah satu temannya yang ikut menumpang bersama dia, dan bisa berbahasa bugis. Dengan segera, temannya yang satu itu langsung memberitahu bahwa daging yang ia masak itu adalah babi

“Lalu pemilik rumah itu langsung muntah!” ia berkata, dan menirukan cara orang itu muntah.

Kakekku melarikan diri bersama seorang teman lagi. Temannya bernama Robert dan seorang Cina.

“Robert, lari!”
Mereka langsung melarikan diri dengan terbirit-birit sampai ke sungai sambil membawa kaleng mentega berisi santapannya itu. Lalu sesampainya di pinggir sungai, ia bersama Robert memnyatap makanan itu.

Setelah semua itu berakhir, ia kembali ke kehidupan biasa dan bekerja seperti pegawai normal. Ia menjual seluruh peralatannya termasuk ranselnya.

“Dapat banyak uang?” aku bertanya.

“Oh iya, lalu uangnya dibelikan untuk cincin pernikahan bersama nenek.” Ia menjawab, tersenyum lebar dan melirik nenekku yang kebetulan sedang lewat. Aku juga melirik nenek, ia hanya diam seolah tidak mendengar apa-apa.

Aku meringis lebar, geli melihat tingkah laku nenekku.
“Kemudian?” aku bertanya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar