Jumat, 07 Desember 2012

Ulasan The King's Speech



T
he King’s Speech merupakan film yang berlatar belakang kerajaan di Inggris sebelum perang dunia II mulai dan pada saat eranya Nazi. Film ini diangkat dari sejarah yang benar-benar terjadi.

Kisahnya adalah tentang seorang pangeran Inggris bernama George(Colin Firth), sang Duke of York, yang tergagap saat berbicara. Nama panggilannya adalah Bertie. Istrinya, ratu Elizabeth (Helena Bonham), berusaha mencarikan dokter untuk terapi suaminya karena dokter sebelumnya tidak cocok. Akhrinya ia menemukan Lionel Logue (Geoffrey Rush) di suatu daerah yang sepi. Ia mengatur waktu untuk suaminya agar bisa bertemu dengan Lionel.

Keesokan harinya pangeran George sangat frustrasi dengan terpinya bersama Lionel. Ia tidak percaya bahwa ia bisa bicara dengan lancar walaupun kupingnya terpasang dengan headphone, mendengarkan musik sambil membaca drama Shakespeare.  Ia langsung berhenti di hari pertama. Lionel memberikan piringan hitam yang suara George ia rekam saat George membaca.

Kemudian, malam itu juga Bertie memasang piringan hitam itu di gramophone-nya. Istrinya tidak percaya mendengar rekaman itu. Keesokan harinya ia langsung pergi kembali ke tempat Lionel dan terapi lagi. Setelah melalui terapi yang aneh-aneh tetapi bermanfaat, cara bicara George mulai membaik.

Suatu hari, kakaknya Edward (Guy Pearce) kembali dari perjalanannya dengan pesawat. Konflik dimulai. Ayahnya, raja George ke lima (Michael Gambon) jatuh sakit. Malamnya sang paduka wafat, meninggalkan Edward untuk mewarisi tahtanya. Terjadi juga permasalahan di antara Lionel dan George karena Bertie stress dengan hidupnya.

Masalahnya adalah, Edward ingin menkahi seorang janda yang sudah bercerai dua kali. Itu melanggar hukum. Edward mengundurkan diri setelah menjadi raja beberapa hari. Bertie dinobatkan menjadi George ke enam setelah ia berbaikkan dengan gururya.

Selanjutnya, Nazi mulai menyerang Inggris. Raja dibutuhkan untuk menyemangati rakyatnya. Ini dia puncaknya. George harus berpidato secara rekaman dan disiarkan di seluruh tanah airnya. Di situ ia mengalami ketakutan yang sangat, tetapi Lionel ada di sisinya, Ia berhasil untuk memberikan pidato, dan ia sangat berterimakasih kepada Lionel Logue.

Film ini sangat bagus. Bagian favoritku adalah saat ia berpidato, karena di situ sangat menegangkan.  Saya juga sangat suka saat Lionel mengajar karena ia menyeimbangkan dirinya dengan sang pangeran dan raja. Karena ia membuat dirinya sederajat dengan George, Lionel bisa menjadi sahabat baiknya dan tahu bukan masalah mekanis yang menyebabkan George gagap.

Penokohan karakternya sangat tepat. Perusahaan pintar memilih aktor. Mereka mampu memainkan karakter mereka masing-masing dengan sangat jelas dan memesona penonton. Itu sangat berlaku kepada Colin Firth dan Geoffrey Rush. Firth mampu meniru orang gagap dengan akurat dan Rush yang pintar berganti-ganti watak saat ia mencoba untuk memainkan karakter drama lainnya.

Bagaimana dengan jalan cerita? Jalan ceritanya menghanyutkan penonton ke dalam cerita dan bisa ikut merasakan ketegangan saat di klimaksnya. Ide-ide yang ditampilkan saat film itu berlangsung sangat kreatif, menghibur penonton dan jenaka. Terutama ketika ia berlatih untuk berbicara dan terapi selagi George marah. Ide itu benar-benar di luar dugaan saya namun menambahkan variasi. Tentunya tidak boleh ditiru J. Saya heran dari mana sang penulis mendapatkan inspirasi untuk bagian ini.

Ide pembuat cerita sangat bagus.Saya bisa melihat bagaimana sejarah terjadi melalui sebuah film. Sebelum The King’s Speech dimainkan di depan mata saya, saya belum pernah mengetahui kejadian ini benar-benar terjadi di hidup seorang pangeran dan raja Inggris. Film ini sangat menambah wawasan saya dan film ini benar-benar menyatu dengan sejarah. Sangat indah.
***

Kamis, 06 Desember 2012

Russel Beserta Mimpinya part 1


I Secarik Kertas Permohonan Maaf


Russel melirik jam tangan Swiss Army-nya. Sudah jam tujuh pagi di musim dingin, dan supirnya tak kunjung datang. Ia menghembuskan nafas kesal. Padahal sekolahnya dimulai tiga puluh menit lagi.  Russel membenci orang yang tidak tepat waktu, apa lagi di hari pertama ia masuk ke sekolah pindahannya di Washington. Menunggu sambil menggambar sketsa bangunan di dalam buku gambarnya pun juga tidak cukup.

“Catherine, telponkan Houston sekarang!” ia membentak pelayan pribadinya.

“Baik, tuan.” Catherine langsung menyambar gagang telpon ruang tamu dan menelpon orang yang tuannya tunggu-tunggu.

Beberapa menit kemudian, ada figur seorang lelaki datang mengendarai motor. Ia berhenti dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Russel yang menatapnya bengis.

Pria yang bernama Houston membuka mulutnya. “Selamat pagi, tuan. Maaf saya terlambat karena…”

“Sudah tiga kali terlambat, masih saja mau minta maaf. “ Russel memalingkan pandangannya dari Houston, dan mengencangkan jaket bulunya.“ Keluarkan porsche-ku dari garasi. Dalam hitungan lima menit, kita sudah harus berada di jalan utama menuju Washington Junior High. Mengerti?” ia berkata dengan tajam.

“Saya mengerti tuan.” Houston langsung berlari menuju garasi yang berisi enam mobil. Dua dari lima mobil itu milik Russel.

Ketika Porsche Russel sudah berada di depan Russel, ia beranjak masuk ke dalam mobilnya. Sebelumnya, ia memastikan bahwa barangnya tidak ada yang tertinggal.

Catherine membungkuk ke arah Russel saat ia sudah berada dalam mobilnya sebelum pintunya ditutup. 

“Selamat jalan tuan. Berhati-hatilah di jalan dan semoga—“

Pintu mobil langsung ditutup oleh Russel yang tidak menghiraukan perkataan Catherine dan melesat menuju jalan utama. Ia segera memasang headphone Schinzer dan menyetel volumenya keras-keras. Lebih keras dari yang ia butuhkan untuk menghilangkan suara Catherine yang terngiang-ngiang dari otaknya dan alasan konyol  Houston mengapa ia terlambat . Ia sekarang hanya bisa mendengarkan deru Porschenya samar-samar.

Mata Russel menangkap pemandangan pepohonan yang sudah gugur daunnya.  Ingatannya memancarkan adegan semalaman antar dia dan ayahnya bertengkar. Ia masih mengenang bagaimana  Ayahnya, sang presiden perusahaan bisnis keluarganya, memaksanya untuk meneruskan posisinya. Padahal ia tidak memiliki minat sama sekali untuk itu. Ibunya juga sibuk menjalankan bisnis, dan keduanya tidak memiliki waktu untuk Russel. Ia hanya menginginkan kasih sayang dari orangtuanya.

Ia juga heran mengapa keluarganya harus pindah ke Washington karena alasan bisnis. Padahal, Texas dan London sudah cukup baginya. Dan ditambah dua bulan lagi, ia akan keluar dari Washington dan ikut terbang ke Beijing bersama Ayahny. Ia disuruh untuk mulai mengikuti perkembangan perusahaan sambil bersekolah di sana. Hanya karena paksaan Ayahnya yang ambisius.

Russel mengeluarkan buku gambarnya dengan hati-hati. Ia tidak tahu mengapa gambar-gambar itu yang selalu meringankan pikirannya saat ia sedih, lesu, frustrasi atau tertekan. Ia tidak ingin menjadi seorang pengusaha bisnis, tetapi seorang arstiek. Russel tersenyum kecil melihat sketsa yang memenuhi setiap halamannya. Buku itu dipenuhi oleh desain-desain rumah, termasuk rumah yang ia tempati di Texas dan London.

 Setiap kenangan yang ia bangun di setiap kota selalu hancur, demikian juga pertemanannya. Russel mengingat bagaimana ia dulu bisa tertawa, bercanda dan menikmati setiap detik bersama teman-temannya di Texas. Lalu semuanya berubah menjadi gelap saat ia harus pindah ke London. Ia masih teringat betapa hancur hatinya saat ia harus pindah. Ia harus meninggalkan wajah-wajah teman-temannya, yang menatapnya dengan berkaca-kaca dengan kehilangan di kejauhan. Itu terlihat dari jendela pesawat Russel yang sedang lepas landas.

Dan sekarang ia berada di Washington. Ia merindukan kehidupannya dulu yang menyenangkan, penuh semangat dan bahagia bersama semua kawannya. Tetapi ia kembali teringat bahwa itu dulu. Sekarang sudah  berbeda.  

Sejak di London, ia memutuskan untuk tidak berteman, bersikap baik atau tertawa dengan siapapun. Ia sudah tahu betapa tidak enak namanya ‘perpisahan’ itu.  Biarkan orang memanggilnya ‘manusia tidak berhati’, tetapi yang penting ia tidak akan melukai hati siapapun atau hatinya. Russel menghela nafas, mendekap buku sketsanya dan memejamkan matanya untuk sesaat. Lehernya bersandar di  sandaran kursi yang beralaskan jaket bulunya yang hangat dan lembut.

Matanya mendadak terbuka karena mencium bau parfum norak Houston terkena air conditioner mobil. Lehernya berputar ke kanan. Dari kaca, terpampang pemandangan sebuah sekolah yang berukuran sedang. Anak-anak sekolahan bermain di pekarangan sambil tertawa dan tersenyum. Di papan bangunan itu tertulis:

Washington Junior High

Nama yang menarik. Menarik suasana tidak enak ke dalam diri Russel.

“Tuan, kita sudah sampai.” Houston berkata dan membukakan pintu mobil.

Russel menginjakan kakinya untuk pertama kalinya di tanah sekolah itu. Ia mengacuhkan murid-murid yang asik melakukan aktifitas. Ia hanya berkonsentrasi berjalan ke pintu masuk sekolah. Beberapa dari mereka melongo melihat penampilan Russel.

 Dari atas sampai ke ujung kaki ada headphone Schnizer, syal rajutan murni dari Eropa dengan benang terbaik, jaket bulu putih, jam Swiss Army, sarung tangan yang senada dengan syalnya, denim Levi’s, sepatu boots hitam yang menutupi mata kaki sampai di bawah lutut dan tas kulit Gucci berisi buku-buku.
Lalu ada sebuah bola basket melayang dan mengenai kepalanya. Russel terjerembab jatuh di depan semua anak.

“Tuan!”  Houston berlari ke arah Russel, tetapi sudah didahului oleh seorang anak perempuan bersyal ungu.

“Maaf! Maaf sekali! Ini gara-gara kakakku, dia melempar bola basket terlalu tinggi lalu menghantam kepalamu, padahal aku sudah memberitahunya agar untuk hati-hati, tetapi dia tidak mau mendengarkan, lalu bola itu naik ke atas saat dia melemparnya, lalu, lalu…” anak perempuan tersebut dengan spontan terbata-bata berkata  sambil menggerak-gerakkan tangannya, namun terhenti, teringat bahwa Russel masih dalam posisi terjerembab.

“Eh…biar kubantu berdiri.” anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke Russel yang menatapnya sinis.

“Tidak usah.” Russel membuang muka, hendak berdiri, tetapi terlanjur anak itu tetap menarik pergelangan tangannya untuk berdiri.

 Saat itu juga Russel kehilangan keseimbangan, tetapi untungnya pemilik syal ungu menahannya. Russel mendengus kesal, mengetahui perempuan ini tetap bersikeras untuk membantunya. Kemudian terdengar suara jepretan dan kerlip sebuah kamera dari depannya.

“Alex!” si anak perempuan itu berteriak ke seorang anak laki-laki yang bernama Alex. Terlihat cengiran nakal dari mulut si Alex, tetapi matanya masih ditutupi oleh kamera.

Mata Russel melebar. Pipinya merona dan berusaha cepat-cepat melepas pegangan anak keras kepala itu. 
Tetapi sia-sia. Pegangan yang semula terasa lemas di pergelangan Russel tiba-tiba berubah menjadi tegang. Russel mendongak dan menemukan anak yang menabraknya melotot ke arah Alex.

“Wah, posemu jelek sekali di sini, Liza.” Alex melepaskan kamera dari matanya, dan mengecek foto yang telah diambilnya.

“Enak saja mengambil foto tanpa minta izin!” anak yang bernama Liza melempar pergelangan tangan Russel dan berderap menuuju Alex. Ia langsung mencengkram kerah si fotografer.  Kakinya langsung menendang milik Alex.

Russel menatap Liza dengan ngeri, buru-buru beranjak dari tempatnya. Tetapi Liza berteriak “Tunggu!”
Russel menyipitkan matanya. Apa lagi? Tetapi bel sekolah sudah berbunyi. Russel memalingkan wajahnya dari Liza, dan mulai berjalan masuk sekolah.
***
Ketika matahari mulai naik di langit Washington, Russel terduduk lesu di kursinya sambil melamun ke luar jendela kelas. Pensilnya sibuk menggambari kertas soal aljabar dengan sketsa bangunan. Ia tak habis pikir mengapa gurunya repot-repot memperkenalkannya ,“Russel Woods yang berasal dari London”,  di depan kelas delapan. Dan lebih parah lagi, anak perempuan mengerikan tersebut bernama Liza tersebut berseberangan meja dengannya.

“Psst, Russel.” Liza berbisik ke arahnya, mencuri kesempatan ketika gurunya sedang menulis soal di papan.
Russel bergeming, seolah ia tidak mendengar apapun.

“Hey!” Liza melemparkan gumpalan kertas yang mendarat di kepalanya.
Russel melotot marah ke Liza, tetapi sepertinya Liza tidak memperdulikannya. Liza mengulurkan tangannya dan menarik telapak tangan Russel.

Badan Russel berubah tegang, makin merasa canggung dan malu karena ditonton oleh beberapa murid-murid lain.

“Nih.” Liza menaruh gulungan kertas kusut berwarna hijau di dalam telapak tangan Russel.
Russel menerima kertas itu dengan ragu-ragu. Ia membaca isinya. Yang benar saja.

Temui aku dan Alex di pintu gerbang sekolah. Kami akan mengajakmu bersenang-senang di sekitar Washington, sekaligus untuk mengubah wajah cemberutmu yang tidak keruan, seperti orang habis di-PHK! Itu semua untuk permintaan maaf atas kejadian tadi. J
LIZA xx

Russel melihat ke arah Liza yang sibuk menggigiti ujung pensilnya, bukannya mengerjakan soal latihan aljabar. Russel membaca ulang isi surat itu. Ia tidak percaya anak perempuan itu benar-benar serius. Tapi 
Russel sudah membulatkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun di Washington.

Beberapa jam kemudian, jam menunjukkan sudah pukul dua siang. Bel sekolah kembali berbunyi, dan Russel melangkah keluar kelas. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Kemudian ia mengenal sosok anak perempuan bersyal ungu melintas di depannya sambil bercakap-cakap dengan teman-temannya. Russel langsung mempercepat langkahnya untuk keluar dari gedung sekolah, dan menghindar dari Liza.

Russel mendesah puas. Sekarang ia sudah di halaman keluar. Yang hanya ia perlu lakukan sekarang adalah menyusuri jalan menuju pintu gerbang sekolah, masuk ke dalam Porschenya yang sudah menunggu di sana, dan melaju ke rumah sambil menggambar sebuah desain bangunan yang baru.

 Saat ia mau menginjakkan kakinya keluar pintu gerbang dimana Houston menunggu, lengannya langsung diseret oleh sepasang tangan dan terdengar bunyi jepretan kamera.

“Hey!” Russel berteriak ke arah si penyeret.

“Kau sedang menunggu kami bukan?” Liza bertanya riang, sementara Alex berdiri di belakangnya sambil memotret Russel yang diseret Liza.

“Kalian! Enak saja menyeret orang!” Russel berteriak marah dan meronta-ronta untuk dilepaskan. Persis seperti anak kecil. Percuma ia berkata seperti itu, karena kakak beradik heboh tersebut menggunakan penghangat kuping.

“Eh, Russel kenapa?” Alex bertanya heran, matanya terlepas dari kamera.

“Mungkin dia kena epilepsi?” Liza menggaruk-garuk kepalanya. “Aku akan menelpon ambulans kalau begitu.”

“Oh, bukan begitu, ia bilang ‘jalan-jalan nanti pasti enak!’” Alex berkata.

“Lepaskan aku!” mata Russel berapi-api.

“Dia bilang ‘Lepas landas yuk!’” Alex menyengir lebar.

“Kalau begitu, mau tunggu apa lagi sekarang? Ayo jalan!” wajah Liza berseri-seri. Ia dan Alex mulai menyeret Russel masuk ke dalam salah satu bus yang berhenti di depan mereka.

“Houston!” Russel berteriak ke arah supirnya, tetapi sepertinya Houston tidak melihat dia dan tidak mendengarnya sama sekali.

“Apa? Haus? Sabar, sebentar lagi saat kita sampai di sana akan ada banyak minuman!” Alex mendorongnya masuk bus.

***  

Russel Beserta Mimpinya part 2


II Roller Coaster


Russel terduduk di antara Alex dan Liza. Kakak adik yang memaksa untuk berteman dengannya. Di saat yang bersamaan, Alex dan Liza melepas penghangat kuping mereka.

“Akhirnya, kita bisa jalan-jalan setelah pelajaran yang membosankan.” Alex merentangkan tangannya lebar-lebar untuk merenggangkan otot lengannya. Tidak sengaja, tangannya mengenai hidung Russel. Si pemilik hidung hanya bisa mengerinyit kesakitan.

“Ngomong-ngomong, Russel, tadi kau antusias sekali mau pergi bersama kami!” Liza menyikut pinggang Russel.

“Itu sebenarnya—“ Russel membatalkan niatnya karena sudah terlanjur melihat wajah Liza yang berseri-seri.

“Sebenarnya apa?” Alex mencondongkan wajahnya ke Russel, sambil memasang telinganya baik-baik.

“…Sebenarnya…aku senang sekali diajak keluar bersama kalian.”

Russel langsung menerima dua paket jeritan heboh serta rangkulan erat, nyaris membuat jantungnya meledak. Ia menyesal ia berbohong, tetapi sekarang ia merasa lebih relax, tidak canggung lagi.

“Ini pertama kalinya kau mengutarkan sebuah kalimat yang panjang!” Liza berkata dalam pelukannya.

“Tolong, lepaskan…” Russel berkata terlalu pelan, karena tenggorokkannya tercekik. Sepertinya sang kakak beradik tidak mendengarnya, karena sudah terbenam dalam bau jaket Russel yang wangi.

Ponsel Liza berdering tiba-tiba. Ringtone-nya aneh sekali, karena Russel tidak bisa mengerti satu patah kata pun. Sepertinya itu lagu jepang. Kepala Liza tiba-tiba melompat dari bahu berjaket bulu, dan membentur dagu Russel. Russel mendengus kesal, dan menahan rasa sakit yang lama-lama pudar.

“Hello?” Liza menempelkan ponselnya ke kuping.

Terdengar dari suara ponsel itu: “Liza-chan?

Matanya terbuka dan bersinar terang seketika, seperti baru mendapat suatu pencerahan.
 “ISEZAKII!!” teriakan Liza melengking. Russel berdoa dalam hatinya agar ia tidak menjadi tuli.

“Ya ampun, sudah lama tidak menelpon!...Berita bagus? Apa itu?........Yang benar saja?...Oh my God…Kau tidak bercanda?...”

Russel mempelajari ekspresi Liza dengan baik-baik. Ekspresinya berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya ia senang bukan kepalang seperti orang kerasukan, tetapi sekarang ia makin gembira matanya berbinar-binar, senyumnya sangat berbeda dengan sebelumnya. Kelakuannya mulai ber-etika, seperti tersihir dengan suara yang berasal dari ponselnya.

“Sekarang?..….Kami akan ke Wild Waves Theme Park, sebentar lagi sampai…..bertemu di sana?...Baiklah, see you!” Liza menarik kedua sudut bibirnya sambil mematikan ponselnya.

“Isezaki datang?  Langsung dari Jepang?” Alex menatap liza tidak percaya.

Liza mengangguk.

“Kita akan bertemu dengannya disana?”

Liza masih mengangguk-angguk, namun mulutnya mengeluarkan senyuman yang Russel tidak bisa jelaskan.

“Benarkah?!” Alex menahan nafasnya.

“Benar.” Liza tersenyum.

”Aku tidak bisa mempercayai ini!” Alex mulai mencabik-cabik rambutnya sendiri.

“Aku juga!!”

“Nanti, kita bisa mencoba roller coaster bersamanya, lalu berkunjung ke Riverfront Park, lalu—“

“Membeli harum manis berwarna pink!”

“Dan mengundangnya untuk menginap di rumah kita, kemudian—“

“Menonton film bersamanya sampai subuh! Juga –“

“Siapa Isezaki?” Russel menyela.
***
Rupanya ini dia yang bernama Isezaki. Alex sekarang berhadap-hadapan dengan seorang anak laki-laki Jepang. Anak itu bergaya cosplay, rambut lurusnya dicat pirang, memakai frame kacamata yang terlalu besar sehingga menutupi seperempat mukanya, dan poni rambutnya sengaja dibiarkan tumbuh agak panjang supaya menutupi alis.

Ia memakai t-shirt pink yang berkolaborasi dengan rompi abu-abu dan dilapisi dengan jaket hitam putih abstrak. Celana yang ia kenakan adalah jeans ketat biru kusam, dipadukan oleh high tops yang menyerupai boots terbuat dari kulit berwarna coklat muda. Pundaknya mengenakan ransel kuning yang digelayuti oleh berbagai macam gantungan, dan di telinganya terpasang earphone perak transparan.

Setelah Alex menceritakan bagaimana mereka bertemu Isezaki yang menyelamatkan Liza yang nyaris hilang di Frankfurt, Russel mengerti mengapa waktu itu Liza mengira Isezaki adalah Alex ketika Liza nyaris hilang.  Isezaki dan Alex sangat mirip jika dilihat dari belakang, namun aroma parfum yang Alex kenakan lebih manis dibanding milik Isezaki.

“ Isezaki, Russel. Russel, Isezaki.” Liza mengenalkan mereka ke satu sama lain yang berdiri berhadapan.

“Hi.” Isezaki melambaikan satu tangannya ke Russel.

“Ehm,” Russel berdeham, masih bingung mau berkata apa. Mengapa susah sekali untuk membulatkan tekad, sementara makin banyak anak yang mau berteman dengannya? Semua ini karena Liza. Tunggu, bukan karena Liza. Tapi karena Ayahnya memindahkan mereka ke Washington dan memilihkan sekolah ini untuknya.

“’Ehm’ …apa artinya?” Isezaki memiringkan kepalanya.

“Maksudku, senang bertemu denganmu.” Russel langsung menyemburkan kata-kata itu secara refleks.
Russel mengulurkan tangannya, dan Isezaki menjabatnya dengan kaku dan lamban, seakan mereka tidak yakin dengan apa yang mereka sedang lakukan. Kemudian mereka berdiam diri, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Cuma ada sebuah kerlip untuk satu detik, dan disusul oleh suara jepretan.

“…Eh….ayo kita naik roller coaster!” Liza berusaha memecahkan suasana canggung.

Tawaran Liza langsung disambut dengan gembira oleh Isezaki. Alex dan Isezaki sudah berlari menuju roller coaster tersebut, meninggalkan Liza dan Alex sendirian.

“Ayo!” Liza menganggukkan kepala ke arah Russel, dan berlari menyusul Alex. Tetapi langkahnya terhenti, karena Russel hanya terpaku di tempatnya. Terdiam. Sekarang hanya terdengar suara orang-orang menjerit-jerit asik menaiki setiap wahana.

“Russel?” Liza menepuk-nepuk lengan Russel. Rupanya otot lengannya mengeras, dan badannya agak gemetar.

“Oh! Kau takut naik roller coaster!” Liza tersenyum nakal.

“…”

“Kalau begitu, tunggu apa lagi?” Ia menyeret Russel. Tetapi Russel berusaha melarikan diri. Sayangnya, cengkraman Liza sangat kuat, jadi Liza menutupi matanya dengan kain hitam yang diikat ketat agar Russel tidak meronta-ronta saat mereka berjalan menuju arena permainan. Orang-orang pada menatap Russel seperti ia mau berjalan ke pemancungan.

“Hey, kau! Lepaskan ini!”  Russel berkata ke Liza. Ia terpaksa harus memegang ujung tas Liza agar ia tidak menabrak.

“Heh, kau pikir kau ini siapa? Anak presiden saja bukan.” Liza menatapnya iseng.

“Masak aku mau jadi seperti orang buta? Tidak enak, tahu!”

“Tunggu, pause sebentar omelanmu. Masuk sini.” Liza mendorongnya masuk ke dalam roller coaster.

“Ouch!” Russel mengusap-usap kakinya yang terbentur saat didorong masuk.

“Nah, boleh lanjutkan omelanmu.” Liza menghempaskan dirinya di sebelah Russel.

“Sekarang, copot kain ini! ” 

“Baiklah, baiklah.” Liza mencopot kain hitamnya.

Russel tanpa pikir segera mau melarikan diri, tapi sudah terlambat. Besi pengaman yang berfungsi sebagai sabuk pengaman sudah turun ke atas pahanya. Kepalanya menoleh ke kanan kiri, tetapi sudah tidak ada jalan keluar. Roller coaster mulai berjalan. Panik. Lagi-lagi terdengar suara jepretan menyebalkan itu.

“ Hehehe. Sudah terlambat.” Liza terkekeh. Tangannya kini mencengkram pegangan roller coaster.

“Berani-beraninya kau memperlakukan aku, Russel Woods, dengan semena-mena?!” Ia menatap marah 
Liza yang tersenyum kalem ke arahnya.

“Diam. Kau terdengar seperti juru hukum yang berada di sidang-sidang.” Liza mulai menirukan suara hakim yang berat dan ditarik-tarik agak berlebihan. ia mengulangi perkataan Russel sambil mencibir dan mengacung-acungkan tangannya seperti Hitler sedang berpidato. “Berani-beraninya kau memperlakukan 
aku, Russel Woods, dengan semena-mena?!”

Roller coaster mulai naik.

“Kau…KAU!!” Russel menyambar kerah baju Liza. Herannya, Liza hanya menatapnya datar. “Kau akan ku –AAAHHHH!!!”  Roller coaster sudah melaju di kecepatan kencang, naik turun, berputar-putar. Russel sealu berteriak histeris di setiap tikungan menanjak, dan tentunya saat-saat itu diabadikan oleh kamera Alex.

Ketika roller coaster berhenti, wajah Russel sudah pucat pasi. Ia terhuyung-huyung berjalan ke kamar mandi, dan muntah. Di perjalanan pulang, Russel yang sudah tidak berdaya hanya bisa menatap nanar Liza yang sibuk mengolesi minyak angin milik Isezaki -yang ia beli di Indonesia- di tengkuk Russel.

Setelah ketiga kawannya mengantar dia pulang jam tujuh malam, semua pelayan dan staff rumahnya terkejut. Mereka semua pada berbisik-bisik.

“ Ini pertama kalinya tuan pulang malam.”

“Iya. Dan dia membawa tiga teman.”

“Aku kira ia tidak memiliki teman?”

“ Wajahnya terlihat pucat. Apa yang terjadi padanya?”

“ Entahlah. Hebat sekali, tuan bisa bergaul dengan anak-anak lain.”

Catherine mendatangi tuannya. “Tuan, apakah anda sudah makan malam? Jika belum, sudah tersedia makan 
malam di…”

“Tidak usah…terimakasih.” Russel menyela, dan langsung menutup pintu kamar tidurnya.

“…Terimakasih?” Catherine mengulangi kata-kata Russel, dan memukul-mukul kupingnya. Apakah ia salah 
dengar atau tidak?
***
Russel termenung di dalam kamarnya. Ia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur, dan menatap hampa langit-langit kamar. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Dasar Liza, si anak hiperaktif dan keras kepala, berani memaksanya menaiki roller coaster, padahal ia takut ketinggian. Rasanya ia hampir mati saat ia diputar-putar di atas benda mengerikan tersebut. Russel bergidik ngeri.

Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berhasil memaksanya. Kecuali ayahnya. Ia terheran heran melihat Liza yang penuh semangat menjalani hidupnya.  Sangat bertolak belakang dengan Russel.  Kini Russel merasakan bahwa Liza adalah anak yang sangat nyata, tidak seperti orang-orang lain yang selalu mengikuti kemauannya.

 Bau minyak angin dari lehernya masih tercium. Terlalu menyengat. Ia berjalan terseok-seok ke kamar mandi dan membuka keran air. Ia membasuh wajahnya. Tangan Russel yang masih basah berusaha menghapus bekas minyak, tetapi bau dan hangatnya minyak itu masih saja mengelayuti lehernya. 

Ia menatap wajahnya yang suram di kaca. Russel heran mengapa Liza dan Alex bersikap baik padanya, walaupun ia berkata kasar dan tidak memperdulikan mereka.  Ada perasaan yang mendorongnya supaya membatalkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun di Washington.

Russel berganti baju dan menenggelamkan dirinya di dalam kasurnya yang empuk. Ia kembali teringat oleh wajah ceria Alex dan Liza dari tadi. Apakah mereka benar-benar menyukainya? Haruskah ia berteman dengan kedua bersaudara tersebut? Kelopak matanya terasa berat, dan ia mulai mengantuk. Ia memejamkan matanya. Mungkin…ia akan bersikap baik kepada mereka. Tetapi sedikit saja.  Sedikit. Saja.

***

Russel Beserta Mimipinya part 3


III Hanyut Terbawa Arus


“Hoi! Kau melamun apa?” Alex menjitak kepala Russel dari belakang.
Russel tersentak  dari lamunannya, mengalihkan pandangan dari bangunan megah yang terletak di depan pekarangan sekolah. Alex sudah berdiri di samping meja kelasnya.

“…Nothing.” Russel beranjak berdiri dan mulai memberes-bereskan buku pelajaran serta menyembunyikan gambar pekarangan sekolah yang ia diam-diam buat saat pelajaran. Sekolah sudah selesai.

“Sehabis ini ada acara, tidak?” Alex mengenakan mantel hijau neonnya.

“Tidak ada, tetapi dalam sepuluh menit aku harus pulang karena—“

Come on!” Alex menarik lengan Russel yang terkejut.

Russel sebenarnya tidak mau ikut, tetapi teringat kembali oleh niatnya semalaman. Ia akhirnya membiarkan dirinya dibawa oleh Alex.

“Mau kemana kita?” Russel berlari mengikuti Alex.

“Menyusul Liza dan Isezaki!”

“Dimana?”

“Di sini!” Alex mendorong Russel masuk ke dalam kedai kecil Ramen murahan.

Isezaki dan Liza sudah berada di dalam , memandangi  Russel yang terheran-heran melihat penampilan kedai yang sederhana.

“Duduk sini dong!” Liza memaksa Russel untuk duduk di kursi plastik berwarna norak.

“Nih, aku memesankan Ramen spesial untuk Russel.” Isezaki menyodorkan piring berisi mie yang masih mengebul-kebul dihiasi Tempura di atasnya.

Russel menerimanya dengan canggung. “…Terimakasih…”

Mereka semua mulai makan. Russel menyumpit Ramen-nya, mencium aromanya terlebih dahulu.

“Ih…baunya aneh.” Ia bergumam kepada dirinya. Baunya membuat perutnya terasa mual.

“Makan saja, nanti lama kelamaan juga suka kok.”  Liza berkata riang.

Russel menyumpitkan sedikit Ramen masuk ke dalam mulutnya. Ia menelan itu seperti kertas karton.

“Bagaimana rasanya?!” Liza tidak sabar bertanya.

“…Yuck.” Russel mengecap-kecap lidahnya, dan meraih botol minumnya.

“Jangan! Tambahkan ini!”  Alex menuangkan tiga sendok saus sambal ke dalam mangkok Russel.

“Ap—!“Russel mulai marah-marah, tetapi sudah terlambat karena Alex sudah terlanjur memasukkan Ramyun ke dalam mulutnya.

“HUAAAHH!” wajah Russel memerah, dan langsung berkeringat. “Air!Air!” 

Bukannya mencarikan air minum, Alex malahan buru-buru meraih kameranya.
***

“Kau tidak pernah makan Ramyun seperti tadi?” Mata Liza menjadi semakin lebar setelah mengetahui  bahwa tadi adalah pengalaman pertamanya memakan Ramyun di kedai murahan. Ia juga kaget mendengar latar belakang keluarga Russel.

Russel mengangguk-angguk canggung, tetapi mulutnya masih kepedasan jadi ia harus meneguk air minum setiap tiga puluh detik.

“ Mengapa bisa? Padahal ‘kan Ayahmu pengusaha kaya.” Alex bertanya sambil mereka berjalan pulang, mengantarkan Russel ke rumahnya.

“Ia tidak pernah memperbolehkanku datang ke kedai-kedai semacam itu, dan, yah…katanya itu tidak baik dilihat jika…seorang anak kaya makan di tempat seperti tersebut.” Russel menundukkan kepalanya.
Alex dan Liza terdiam. Hanya terdengar suara tapak kaki mereka serta klakson kendaraan dari kejauhan.

“Maksudku bukan begitu!” Russel buru-buru menambahkan, melihat ekspresi kedua temannya.

“Aku selalu menginginkan untuk datang ke tempat-tempat seperti itu, bermain bersama anak-anak biasa, menjadi mandiri tanpa pelayan, dan…”

“Kau, merasa senang bisa bersahabat dengan kami?” Liza bertanya pelan.

Russel terhenti di tempatnya, terkejut dengan pertanyaan itu. Beberapa hari yang lalu, ia sudah membulatkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun. Kemarin malam, ia terlanjur memutuskan untuk bersikap baik kepada kakak beradik ini. Namun sekarang? Ia rasa ia sudah terbawa terlalu jauh. Persis seperti orang yang hanyut dalam arus sungai dan tidak menemukan pegangan yang ia bisa raih untuk kembali ke tempat semula.Kenangan masa lalunya terbesit di otaknya, menampilkan wajah-wajah suram teman-temannya ketika ia mau berangkat ke London.

“Russel?” Alex menyadarkan dia dari pikirannya.

Russel buru-buru berjalan lagi. “Senang bersahabat dengan kalian?” ia mengulangi pertanyaan Liza.

Kedua temannya menatap Russel dengan penuh semangat, mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Begini, awalnya, aku…mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan saat aku dulu di Texas,” Russel memulai ceritanya. Ia senang diperhatikan oleh Alex dan Liza yang menyimaknya dengan seksama.

“Akhirnya setelah aku menginjakkan kakiku di Washington Junior High,” Russel mengakhiri pengalamannya 
“aku membulatkan tekad untuk tidak berteman dengan siapapun, hanya karena takut menyakiti hati kalian.” 
Ia menendang sebuah kerikil dan tertawa, menyadari dirinya selama ini adalah seorang pengecut.

Teman-temannya memandangnya takjub. Liza mulai membuka mulutnya untuk berkomentar bahwa ia belum pernah melihat Russel tertawa sebelumnya, tetapi Alex membuat tanda untuk tetap diam.

“Kemudian, lama kelamaan…rasanya aku menjadi semakin nyaman saat mulai bersikap baik dengan kalian. Aku sebenarnya sangat bahagia saat mengetahui kalian gembira menerimaku menjadi seorang sahabat, meskipun aku orangnya sinis, arogan dan pendiam.” Russel mulai tersenyum malu.

“Baguslah kalau begitu!” Alex merangkul pundak Russel dengan tangan kirinya.

“Tetapi, aku akan pindah ke Beijing dua bulan lagi…” senyum Russel menguap.

“Hah?! Mengapa?” dahi Liza berkerut.

“Iya, mengapa?!” Alex memprotes.

“Lagi-lagi urusan bisnis Ayah. Ia memaksaku untuk meneruskan posisinya, padahal aku tidak mau menjadi seorang pengusaha bisnis.”

“Jadi, kau ingin jadi apa?” Liza bertanya.

“Aku ingin menjadi seorang aristek.” Russel berkata mantap. Lebih mantap dari pada hawa dingin yang menyelimuti Washington. “Coba lihat ini.” Russel membuka buku sketsa yang ia keluarkan dari tas.

“Wah! Hebat sekali!” Liza memandangi sketsa bangunan yang terpapar di tiap lembar kertas.

“ Ini patut diabadikan!” Alex meraih kameranya dan mengambil gambar hasil karya-karya Russel.
Russel berusaha menyembunyikan senyum bangganya.

“Hey, mengapa kau tidak bilang ke Ayahmu bahwa kau ingin menjadi arsitek?” Liza bertanya.

Ponsel Russel tiba-tiba berdering. Ia mengangkatnya dengan terburu-buru. “Ya?...Oh, ada apa, Ayah?” nada Russel menurun, demikian juga pundaknya. Ia terdiam untuk satu menit, menyimak Ayahnya. Wajahnya berubah menjadi murung. “Tetapi, mengapa? Mengapa harus nanti malam?...Aku tidak menginginkan itu, aku ingin tetap di Washington…Halo, Ayah? Ayah?” sambungan telpon terputus.

“Ada apa?” Liza dan Alex bertanya serentak.

“Malam ini aku akan berangkat ke Beijing karena ada perubahan saham di sana.” Russel menggigit bibir bawahnya. Ia mulai panik.

“ Tenang, tenang. Kau tidak ingin pergi, ‘kan?” Alex bertanya sambil memandang Russel dengan penuh arti.

“Tidak.” Russel menjawab pahit.

“ Kau masih mau dipaksa untuk menjadi pengusaha?”

“ Tidak.”

“Apakah kau mau, membayangkan dirimu lima tahun lagi stress karena tidak bisa menikmati pekerjaanmu? Padahal kesempatan sudah di ambang pintu!”

“Tidak, aku…tidak mau membayangkan itu!” Mata Russel mulai berapi-api.

“ Jika begitu, buktikanlah kepada Ayahmu bahwa kau memiliki cita-cita!”

“Kau pasti bisa, Russel.” Liza menatapnya dengan yakin.

***