Kamis, 06 Desember 2012

Russel Beserta Mimpinya part 2


II Roller Coaster


Russel terduduk di antara Alex dan Liza. Kakak adik yang memaksa untuk berteman dengannya. Di saat yang bersamaan, Alex dan Liza melepas penghangat kuping mereka.

“Akhirnya, kita bisa jalan-jalan setelah pelajaran yang membosankan.” Alex merentangkan tangannya lebar-lebar untuk merenggangkan otot lengannya. Tidak sengaja, tangannya mengenai hidung Russel. Si pemilik hidung hanya bisa mengerinyit kesakitan.

“Ngomong-ngomong, Russel, tadi kau antusias sekali mau pergi bersama kami!” Liza menyikut pinggang Russel.

“Itu sebenarnya—“ Russel membatalkan niatnya karena sudah terlanjur melihat wajah Liza yang berseri-seri.

“Sebenarnya apa?” Alex mencondongkan wajahnya ke Russel, sambil memasang telinganya baik-baik.

“…Sebenarnya…aku senang sekali diajak keluar bersama kalian.”

Russel langsung menerima dua paket jeritan heboh serta rangkulan erat, nyaris membuat jantungnya meledak. Ia menyesal ia berbohong, tetapi sekarang ia merasa lebih relax, tidak canggung lagi.

“Ini pertama kalinya kau mengutarkan sebuah kalimat yang panjang!” Liza berkata dalam pelukannya.

“Tolong, lepaskan…” Russel berkata terlalu pelan, karena tenggorokkannya tercekik. Sepertinya sang kakak beradik tidak mendengarnya, karena sudah terbenam dalam bau jaket Russel yang wangi.

Ponsel Liza berdering tiba-tiba. Ringtone-nya aneh sekali, karena Russel tidak bisa mengerti satu patah kata pun. Sepertinya itu lagu jepang. Kepala Liza tiba-tiba melompat dari bahu berjaket bulu, dan membentur dagu Russel. Russel mendengus kesal, dan menahan rasa sakit yang lama-lama pudar.

“Hello?” Liza menempelkan ponselnya ke kuping.

Terdengar dari suara ponsel itu: “Liza-chan?

Matanya terbuka dan bersinar terang seketika, seperti baru mendapat suatu pencerahan.
 “ISEZAKII!!” teriakan Liza melengking. Russel berdoa dalam hatinya agar ia tidak menjadi tuli.

“Ya ampun, sudah lama tidak menelpon!...Berita bagus? Apa itu?........Yang benar saja?...Oh my God…Kau tidak bercanda?...”

Russel mempelajari ekspresi Liza dengan baik-baik. Ekspresinya berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya ia senang bukan kepalang seperti orang kerasukan, tetapi sekarang ia makin gembira matanya berbinar-binar, senyumnya sangat berbeda dengan sebelumnya. Kelakuannya mulai ber-etika, seperti tersihir dengan suara yang berasal dari ponselnya.

“Sekarang?..….Kami akan ke Wild Waves Theme Park, sebentar lagi sampai…..bertemu di sana?...Baiklah, see you!” Liza menarik kedua sudut bibirnya sambil mematikan ponselnya.

“Isezaki datang?  Langsung dari Jepang?” Alex menatap liza tidak percaya.

Liza mengangguk.

“Kita akan bertemu dengannya disana?”

Liza masih mengangguk-angguk, namun mulutnya mengeluarkan senyuman yang Russel tidak bisa jelaskan.

“Benarkah?!” Alex menahan nafasnya.

“Benar.” Liza tersenyum.

”Aku tidak bisa mempercayai ini!” Alex mulai mencabik-cabik rambutnya sendiri.

“Aku juga!!”

“Nanti, kita bisa mencoba roller coaster bersamanya, lalu berkunjung ke Riverfront Park, lalu—“

“Membeli harum manis berwarna pink!”

“Dan mengundangnya untuk menginap di rumah kita, kemudian—“

“Menonton film bersamanya sampai subuh! Juga –“

“Siapa Isezaki?” Russel menyela.
***
Rupanya ini dia yang bernama Isezaki. Alex sekarang berhadap-hadapan dengan seorang anak laki-laki Jepang. Anak itu bergaya cosplay, rambut lurusnya dicat pirang, memakai frame kacamata yang terlalu besar sehingga menutupi seperempat mukanya, dan poni rambutnya sengaja dibiarkan tumbuh agak panjang supaya menutupi alis.

Ia memakai t-shirt pink yang berkolaborasi dengan rompi abu-abu dan dilapisi dengan jaket hitam putih abstrak. Celana yang ia kenakan adalah jeans ketat biru kusam, dipadukan oleh high tops yang menyerupai boots terbuat dari kulit berwarna coklat muda. Pundaknya mengenakan ransel kuning yang digelayuti oleh berbagai macam gantungan, dan di telinganya terpasang earphone perak transparan.

Setelah Alex menceritakan bagaimana mereka bertemu Isezaki yang menyelamatkan Liza yang nyaris hilang di Frankfurt, Russel mengerti mengapa waktu itu Liza mengira Isezaki adalah Alex ketika Liza nyaris hilang.  Isezaki dan Alex sangat mirip jika dilihat dari belakang, namun aroma parfum yang Alex kenakan lebih manis dibanding milik Isezaki.

“ Isezaki, Russel. Russel, Isezaki.” Liza mengenalkan mereka ke satu sama lain yang berdiri berhadapan.

“Hi.” Isezaki melambaikan satu tangannya ke Russel.

“Ehm,” Russel berdeham, masih bingung mau berkata apa. Mengapa susah sekali untuk membulatkan tekad, sementara makin banyak anak yang mau berteman dengannya? Semua ini karena Liza. Tunggu, bukan karena Liza. Tapi karena Ayahnya memindahkan mereka ke Washington dan memilihkan sekolah ini untuknya.

“’Ehm’ …apa artinya?” Isezaki memiringkan kepalanya.

“Maksudku, senang bertemu denganmu.” Russel langsung menyemburkan kata-kata itu secara refleks.
Russel mengulurkan tangannya, dan Isezaki menjabatnya dengan kaku dan lamban, seakan mereka tidak yakin dengan apa yang mereka sedang lakukan. Kemudian mereka berdiam diri, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Cuma ada sebuah kerlip untuk satu detik, dan disusul oleh suara jepretan.

“…Eh….ayo kita naik roller coaster!” Liza berusaha memecahkan suasana canggung.

Tawaran Liza langsung disambut dengan gembira oleh Isezaki. Alex dan Isezaki sudah berlari menuju roller coaster tersebut, meninggalkan Liza dan Alex sendirian.

“Ayo!” Liza menganggukkan kepala ke arah Russel, dan berlari menyusul Alex. Tetapi langkahnya terhenti, karena Russel hanya terpaku di tempatnya. Terdiam. Sekarang hanya terdengar suara orang-orang menjerit-jerit asik menaiki setiap wahana.

“Russel?” Liza menepuk-nepuk lengan Russel. Rupanya otot lengannya mengeras, dan badannya agak gemetar.

“Oh! Kau takut naik roller coaster!” Liza tersenyum nakal.

“…”

“Kalau begitu, tunggu apa lagi?” Ia menyeret Russel. Tetapi Russel berusaha melarikan diri. Sayangnya, cengkraman Liza sangat kuat, jadi Liza menutupi matanya dengan kain hitam yang diikat ketat agar Russel tidak meronta-ronta saat mereka berjalan menuju arena permainan. Orang-orang pada menatap Russel seperti ia mau berjalan ke pemancungan.

“Hey, kau! Lepaskan ini!”  Russel berkata ke Liza. Ia terpaksa harus memegang ujung tas Liza agar ia tidak menabrak.

“Heh, kau pikir kau ini siapa? Anak presiden saja bukan.” Liza menatapnya iseng.

“Masak aku mau jadi seperti orang buta? Tidak enak, tahu!”

“Tunggu, pause sebentar omelanmu. Masuk sini.” Liza mendorongnya masuk ke dalam roller coaster.

“Ouch!” Russel mengusap-usap kakinya yang terbentur saat didorong masuk.

“Nah, boleh lanjutkan omelanmu.” Liza menghempaskan dirinya di sebelah Russel.

“Sekarang, copot kain ini! ” 

“Baiklah, baiklah.” Liza mencopot kain hitamnya.

Russel tanpa pikir segera mau melarikan diri, tapi sudah terlambat. Besi pengaman yang berfungsi sebagai sabuk pengaman sudah turun ke atas pahanya. Kepalanya menoleh ke kanan kiri, tetapi sudah tidak ada jalan keluar. Roller coaster mulai berjalan. Panik. Lagi-lagi terdengar suara jepretan menyebalkan itu.

“ Hehehe. Sudah terlambat.” Liza terkekeh. Tangannya kini mencengkram pegangan roller coaster.

“Berani-beraninya kau memperlakukan aku, Russel Woods, dengan semena-mena?!” Ia menatap marah 
Liza yang tersenyum kalem ke arahnya.

“Diam. Kau terdengar seperti juru hukum yang berada di sidang-sidang.” Liza mulai menirukan suara hakim yang berat dan ditarik-tarik agak berlebihan. ia mengulangi perkataan Russel sambil mencibir dan mengacung-acungkan tangannya seperti Hitler sedang berpidato. “Berani-beraninya kau memperlakukan 
aku, Russel Woods, dengan semena-mena?!”

Roller coaster mulai naik.

“Kau…KAU!!” Russel menyambar kerah baju Liza. Herannya, Liza hanya menatapnya datar. “Kau akan ku –AAAHHHH!!!”  Roller coaster sudah melaju di kecepatan kencang, naik turun, berputar-putar. Russel sealu berteriak histeris di setiap tikungan menanjak, dan tentunya saat-saat itu diabadikan oleh kamera Alex.

Ketika roller coaster berhenti, wajah Russel sudah pucat pasi. Ia terhuyung-huyung berjalan ke kamar mandi, dan muntah. Di perjalanan pulang, Russel yang sudah tidak berdaya hanya bisa menatap nanar Liza yang sibuk mengolesi minyak angin milik Isezaki -yang ia beli di Indonesia- di tengkuk Russel.

Setelah ketiga kawannya mengantar dia pulang jam tujuh malam, semua pelayan dan staff rumahnya terkejut. Mereka semua pada berbisik-bisik.

“ Ini pertama kalinya tuan pulang malam.”

“Iya. Dan dia membawa tiga teman.”

“Aku kira ia tidak memiliki teman?”

“ Wajahnya terlihat pucat. Apa yang terjadi padanya?”

“ Entahlah. Hebat sekali, tuan bisa bergaul dengan anak-anak lain.”

Catherine mendatangi tuannya. “Tuan, apakah anda sudah makan malam? Jika belum, sudah tersedia makan 
malam di…”

“Tidak usah…terimakasih.” Russel menyela, dan langsung menutup pintu kamar tidurnya.

“…Terimakasih?” Catherine mengulangi kata-kata Russel, dan memukul-mukul kupingnya. Apakah ia salah 
dengar atau tidak?
***
Russel termenung di dalam kamarnya. Ia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur, dan menatap hampa langit-langit kamar. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Dasar Liza, si anak hiperaktif dan keras kepala, berani memaksanya menaiki roller coaster, padahal ia takut ketinggian. Rasanya ia hampir mati saat ia diputar-putar di atas benda mengerikan tersebut. Russel bergidik ngeri.

Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang berhasil memaksanya. Kecuali ayahnya. Ia terheran heran melihat Liza yang penuh semangat menjalani hidupnya.  Sangat bertolak belakang dengan Russel.  Kini Russel merasakan bahwa Liza adalah anak yang sangat nyata, tidak seperti orang-orang lain yang selalu mengikuti kemauannya.

 Bau minyak angin dari lehernya masih tercium. Terlalu menyengat. Ia berjalan terseok-seok ke kamar mandi dan membuka keran air. Ia membasuh wajahnya. Tangan Russel yang masih basah berusaha menghapus bekas minyak, tetapi bau dan hangatnya minyak itu masih saja mengelayuti lehernya. 

Ia menatap wajahnya yang suram di kaca. Russel heran mengapa Liza dan Alex bersikap baik padanya, walaupun ia berkata kasar dan tidak memperdulikan mereka.  Ada perasaan yang mendorongnya supaya membatalkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun di Washington.

Russel berganti baju dan menenggelamkan dirinya di dalam kasurnya yang empuk. Ia kembali teringat oleh wajah ceria Alex dan Liza dari tadi. Apakah mereka benar-benar menyukainya? Haruskah ia berteman dengan kedua bersaudara tersebut? Kelopak matanya terasa berat, dan ia mulai mengantuk. Ia memejamkan matanya. Mungkin…ia akan bersikap baik kepada mereka. Tetapi sedikit saja.  Sedikit. Saja.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar