Kamis, 01 November 2012

Jane


Jane belari-lari kecil, mengitari domba-domba berbulu putih yang berjalan kesini kemari. Tongkat gembalanya teracung-acung ke arah kawanan itu. Ia mendongak ke atas. Masih pagi.

“Topaz!”ia bersuit.

Munculah seekor anjing German sheperd berbulu keemasan. Ekornya mengkibas-kibas kesenangan serta lidah merah jambonnya menjulur keluar. Anjing itu menggonggong kesenangan, menyahut panggilan Jane.

“Ayo cepat, nanti kita tidak bisa melihat matahari terbit!” Jane berkata sambil rambut cokelat berombaknya berkibar-kibar karena ia menoleh ke Topaz dan kawanannya yang mulai menjauh. Dengan buru-buru ia menutup gerbang kecil peternakan.

“Sharon! Aku pergi dulu!” Ia berteriak dari jauh ke arah jendela kayu di lantai dua yang mulai terbuka. Kakinya mulai berderap mengejar Topaz dan domba-dombanya.

Miss Jane! Jangan kabur dulu, tuan dan nyonya masih belum bangun !"

Jane mulai berlari tanpa memperdulikan Sharon. Dengan nafas tersenggal-senggal ia sampai di sebelah Topaz yang sibuk mengawasi kawanan. 

“Topaz, jaga dulu ya, aku mau naik ke bukit sebentar.” Jane mulai berjalan cepat ke arah sebuah bukit mungil yang terletak agak jauh. Topi yang digantungkan di belakang punggungnya melambai-lambai seirama hentakan kakinya.

Ia tersenyum lebar, mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya. Nah, ini dia momen yang ia tunggu-tunggu. Matahari mulai merekah dari belakang pegunungan  seperti balon berwarna emas yang kemudian pecah menjadi cahaya kuning nan hangat. Lambat laun, cahaya itu makin tinggi, menyebabkan lagit yang biru tua berubah menjadi biru muda.

Mendadak angin besar berdesir dan melepaskan topi Jane dari ikatannya. Topi itu mengudara seketika. Jane mendelik.

“Hey, kembali!” Secara refleks ia langsung mengejarnya sambil berusaha menggapainya.

Ia sangat beruntung topi itu tersangkut di suatu pohon besar yang rindang. Ia memanjatnya dengan cekatan. Ia terus naik ke atas. Naik, naik, naik.

 Ia bisa mendengar desah puas angin, melihat perlombaan awan yang berlari dengan kecepatan tinggi menuju utara, memerhatikan surai api kuda-kuda dari matahari yang turun ke bumi dan menatap wajah langit yang 
sedang memperhatikannya. Tanpa ia sadari, ia sudah berada di batas cakrawala.

Sesampainya di atas, ia berdecak kagum melihat pemandangan di sekitarnya. Dan langsung menyambar topinya yang tergantung di suatu dahan. Menalikannya erat-erat.  Kemudian saat ia menengok ke atas, ia terperanjat.

Aurora berwarna biru keunguan terpapar di atas langit, berkilauan. Langit yang tadinya biru muda yang 
seharusnya terang tiba-tiba berubah menjadi kelam. Seluruhnya terbuka menjadi sebuah  portal, menampakkan luar angkasa yang dihiasi oleh miliaran bintang.

“Tidak mungkin...ini indah sekali…!”Jane bergumam sambil tercengang. Matanya berkilat-kilat kesenangan.

 Untuk beberapa saat, semua terdiam. Bahkan tidak terdengar suara hembusan angin atau kicauan burung. Semua galaksi tersorot dari jauh. Hanya ada satu meteor yang melintas. Kemudian pemandangan dari portal itu buyar menjadi keping-kepingan awan yang menjadi bagian langit. Semuanya kembali jadi normal.

“Yah…” Jane masih ingin melihatnya sekali lagi. Saat ia mulai beranjak pergi dan membalikkan badannya, dalam seketika ia terpaku di tempatnya lalu membekap mulutnya sendiri yang menjerit kecil.

“Kau tidak akan melihat itu setiap hari.” Seorang anak laki-laki bersandar di dahan lain yang terletak di belakang Jane. Tangannya terlipat dan poninya acak-acakan tertiup angin.

“Siapa kamu?!” tanya  Jane secara refleks. Matanya melotot.

“Jay.”  Ia menjawab singkat, tidak tersenyum sama sekali. Ia menyingkirkan poni  hitam yang menutupi matanya.   “Kau?”

“J-Jane… Aku tinggal di sebuah peternakan tidak jauh dari sini…” Ia memaksakan seulas senyum walau masih shock.  Tetapi sangat ingin tahu tentang anak yang di depannya. “Kalau Jay tinggal dimana?”

Jay memandangnya dalam-dalam “Tidak perlu tahu.” Kemudian ia menggumamkan bahasa asing.

“Jujur saja, kau tinggal di mana? Sepertinya kau bukan dari daerah sini.” Tanya Jane antusias. Rasa kagetnya sudah menghilang seketika. 

“Sudah kubilang, tidak perlu tahu.” Jay menyipitkan matanya. “Bukan urusanmu.” Ia menambahkan.

“Kamu sinis sekali ya.” Jane berkata langsung tanpa memerdulikan perasaan Jay. Matanya memperhatikan jemarinya yang sibuk membenahkan rambutnya yang kusut. “Ngomong-ngomong, kamu dari tadi mengawasiku?”

Jay hanya bisa menatapnya nanar. “ Iya, semenjak kamu berlari meniggalkan anjingmu.”

Jane mengangkat satu alisnya. Ia menatap mata Jay lalu berkerut samar. “Hey, matamu...”

“Apa?”

“…Berwarna ungu ya?” Jane tersenyum lebar.

Jay mengedipkan mata dua kali sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu berbicara apa? Mataku berwarna coklat.”

Jane mencondongkan tubuhnya lebih dekat. “Ah, iya, betul juga!”  ia tertawa.

“Sana, turunlah. Bukannya kau harusnya memiliki tugas lain?” Jay mulai beranjak dari tempatnya sementara kedua tangannya ia kebelakangkan.

“Ya ampun! Aku hampir saja lupa!” Jane dengan terburu-buru menuruni pohon yang tinggi itu. Hangatnya matahari mulai meresap ke dalam tubuhnya dan burung-burung mulai berkicauan.

Kepalanya masih berpikir keras tentang sikap Jay dan kata-kata yang ia ucapkan. Semuanya… aneh. Firasatnya mengatakan ia harus kembali, tetapi otaknya melawan keras dengan alasan-alasan lain. Ia harus kembali. Harus. Jane memaksakan tubuhnya untuk bergerak, walau tidak enak melawan otaknya. Kakinya yang memanjat turun mulai memanjat naik lagi.

Akhirnya tangannya menggapai-gapai dahan paling atas. Ketika ia mendapatkannya, langsung ia menarik dirinya. Sampai. Tetapi mengapa ada suara aneh? Suara itu seperti lolongan serigala, tetapi bercampur suara air yang teraduk-aduk dengan badai petir.

Ia melongok ke atas. Matanya menangkap sosok Jay memegang sebuah elemen yang berputar-putar di atas kedua telapak tangannya. Elemen itu mirip bola api, tetapi berwarna ungu, persis seperti warna matanya tadi yang  ia salah lihat. Atau ia tidak salah lihat.

Mulut Jane menganga. Ia menampar pipinya sendiri sampai merah. Tidak, ini bukan mimpi. Kemudian ia memperhatikan mata Jay yang tajam. Mata yang tadinya menjelma menjadi warna cokelat berubah menjadi ungu perlahan-lahan.

Jay tiba-tiba tergelincir, kakinya kehilangan pijakan. Tangannya menggelepar mencari pegangan tetapi hanya menemukan dahan kecil untuk bertahan. Lama-lama dahan itu mulai retak. Jane menahan nafasnya.
Jay menengok ke bawah. Hanya ada tanah kosong yang terbaring puluhan meter dari dahan itu. Keringat dingin mulai membanjiri kening serta punggungnya. Ia bergidik membayangkan dirinya mati terjatuh dengan kepala pecah di tanah. Tidak, ia tidak mau mati sekarang. Dahan kecil itu patah. Ia bisa merasakan dirinya melayang. Udara mulai menusuk-nusuk kulitnya seperti jarum. Tamatlah dia.

Di saat yang tepat, ia merasakan tangannya ditarik oleh seseorang. Tangan yang menyelamatkannya terasa hangat. Keringat dinginnya mulai berkurang. Beberapa detik kemudian, ia sudah di atas. Ia menemukan wajah yang khawatir dan ketakutan. Wajah seorang gadis yang berambut coklat kusut.

“Kau…” Jay memulai, tetapi jantungnya tidak bisa berhenti berdetak karena shock.

“Jay tidak apa-apa, kan?” Jane bertanya cemas. “Apakah kau tidak berhasil?”

“Kau melihatku? Melihat aku melakukan semua itu?” Jay tercengang sekaligus takut.

“Benar.” Jane terkekeh.

Keduanya teduduk. Masih belum percaya dengan apa yang barusan terjadi.

“Bagaimana kau bisa kembali ke sini?” Jay bertanya pelan.

“Oh, itu. Aku kembali karena aku menyadari hal yang aneh darimu. Seperti kau tiba-tiba muncul di hadapanku, berkata bahwa aku memiliki tugas lain, padahal kau tidak melihatku menggiring domba-dombaku. Kau juga tidak mau memberitahu cara kau sampai ke sini, kau menggumamkan bahasa asing, matamu tadinya berwarna ungu dan menaruh kedua tanganmu di belakang. Itu tidak biasa.” Jane meringis.

Jay melengos.

“Dan kau bilang bahwa kau sudah mengawasiku sejak aku meninggalkan anjingku.  Bagaimana kau bisa tahu semua itu? Padahal aku meninggalkan Topaz satu kilometer dari sini. Mustahil ‘kan manusia bisa melihat jauh dari pohon di atas sebuah bukit kecil. Hanya elf yang bisa melakukan itu!” Mata Jane mulai berbinar-binar.

“Kau mengatakan aku bukan manusia?” Jay berkerut samar.

“Tepat sekali!” Jane mengacungkan jempolnya. “Dan menurutku, kau terdampar karena portal itu terbuka, dan kau ingin kembali membuka portal itu agar kau bisa pulang!”

Suasana hening untuk sesaat.  Hanya ada suara burung dan daun-daun yang bergesekkan.

“Hebat. Semua tebakkanmu benar.” Jay memandang mata Jane dalam-dalam. Matanya mulai berubah ke warna aslinya.

“Jadi, bagaimana sekarang?” Jane bertanya.

“Yang jelas aku tidak akan bersikap sinis lagi kepadamu…Maaf aku sudah bersikap seperti itu.” Pandangan 
Jay menerawang masuk ke dalam matan Jane yang hangat. Raut mukanya menjadi makin serius.

“Hah, kau ini, begitu saja sudah merasa bersalah!” Jane meninju pelan lengan Jay sambil terbahak-bahak. 

Tawanya memecahkan sikap canggung Jay.

Si pemilik mata ungu berusaha menahan senyumnya.

Tak lama kemudian, kedua orang itu sudah asyik mengobrol seperti teman lama.

“Ngomong-ngomong, Jane. Terimakasih ya sudah menolongku.” Jay berkata dengan jelas dan agak lantang. Supaya Jane tidak salah dengar.

“Bukan masalah.” Jane menjawab dengan senang hati.  Bola matanya berkelip.

Anak ini…Jay membatin. Lagi-lagi gadis berambut coklat kusut ini membuat Jay merasa nyaman dan hangat. Hangat yang ia belum pernah rasakan di dunianya. Kemudian, Jay tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar