Kamis, 15 November 2012

Hari Yang Tidak Akan Pernah Kulupakan



Hari ini adalah hari yang paling mengesankan dalam hidupku. Malam ini sambil aku berbaring di ranjang dan menulis buku harian, aku kembali teringat kejadian tadi siang. Mungkin aku bisa menceritakan sedikit.Ah, jangan sedikit, semuanya saja,  selagi masih ada waktu sebelum aku tidur.

Seperti bisa, pada pagi hari aku selalu menghafalkan Torah, belajar, lalu membantu ibuku untuk membersihkan rumah. Rumahku yang sederhana, terbuat dari batu dan dihiasi oleh rak-rak berisi gulungan- gulungan kitab dan koleksi senjataku, cukup berdebu untuk ukuran sebuah rumah yang terletak di atas tebing, mengarah ke pantai.

Waktu itu aku sedang mengelap perisai hasil tempaanku sambil bersenandung, tapi terhenti karena mendengar dua pasang langkah kaki  berhenti di depan pintu belakang rumah. Teman ibuku, Claudia, datang berkunjung.

" Halo, Asher." ia menyapaku sambil tersenyum. Rambutnya ditata rapi layaknya seorang bangsawan Roma.

"Selamat pagi, Nyonya Claudia" aku menjawab sapaannya.

"Asher! " seorang anak laki- laki muncul dari belakang Nyonya Claudia.

Ia menyapaku sambil meringis lebar. Ia mengenakan Toga (pakaian untuk laki- laki Roma) berwarna ungu dan putih.

"Eh, Octavius!" aku langsung menaruh lap dan perisai yang aku bawa di atas meja dan menepuk bahu kanannya.  " Bagaimana sekolahmu?" aku bertanya, sambil tanganku merasakan halusnya kain sutra yang ia kenakan.

" Sekolahku lumayan menyenangkan, dan ada sesuatu yang terjadi." Octavius mendongak ke Ibunya sambil mengangkat kedua alisnya, memberikan pandangan bolehkah-kita-memberitahu-mereka-?

"Jadi...kami sekeluarga percaya kepada Yesus..." Nyonya Claudia berkata dengan serius, namun ia tersenyum senang.

"Semuanya karena salah satu murid kelasku menceritakan bagimana ia merasakan hidupnya berubah saat ia ikut Yesus."  Octavius melanjutkan.

"Saat itu juga Octavius percaya kepada Yesus, dan kami sekeluarga pun juga ikut dipulihkan dan mengikuti Dia." Nyonya Claudia menyelesaikan ceritanya.

Hatiku mendengar itu langsung melompat-lompat dengan sukacita.
" Ini berita yang bagus! " aku merangkul Octavius.

"Ini berita yang SANGAT bagus!" Ibuku muncul dari dapur sambil tertawa. Ia merentangkan tangannya dan memeluk Nyonya Claudia.  "Claudia, aku turut bersukacita."

"Begitu juga aku, Maria. " ia tersenyum, dan berjalan masuk ke ruang duduk bersama ibu sambil berbincang-bincang. Biasalah, namanya semua ibu-ibu sama.

Aku dan Octavius duduk di tangga teras belakang.
"Wah, tidak terasa sudah seminggu kamu tidak main ke sini ya." aku berkata.

"Iya. Aku sebenarnya juga agak bosan tinggal di rumah tutorku. Setiap pagi pasti bangun, mencuci muka dan sarapan. Lalu disusul oleh pelajaran sampai matahari terbenam." ia mencabut-cabut rumput liar di depannya sambil berbicara.

"Bagaimana murid-murid yang lain? Apakah mereka menikmati sekolah privat bangsawan itu?" aku kembali bertanya sambil menopang daguku dengan satu tangan.

"Mereka juga bosan, sama sepertiku. Kecuali untuk Felix." ia menjawab .

"Felix?"

" Dia anak yang membuat hidupku berubah total dengan memperkenalkanku kepada Tuhan."

" Begitu ya. Lalu, hari ini sedang libur?"

" Bukan, justru ibuku yang meliburkanku untuk beberapa hari karena ingin mendengar alasan mengapa aku bisa berpaling dari para dewa." Octavius tertawa.

Kami hanyut dalam obrolan sambil menikmati suara debur ombak dan udara pantai, lalu melatih kemampuan bertempur kami dengan bermain pedang.

Beberapa jam kemudian, mataku menangkap serombongan orang yang berjalan berbondong-bondong. Karena saking banyaknya kaki yang berjalan, terlihat debu mulai bangkit dari tanah. Aku memasukkan pedang yang kupegang ke dalam tempatnya dan mengelap keringat yang bercucuran di dahiku.

"Wah, apa itu?" Octavius juga menurunkan senjatanya dan merenggangkan pergelangan tangan. Rupanya ia juga memperhatikan keramaian tersebut.

"Pak, ada apa di sana?" aku berteriak kepada seorang nelayan yang sedang membenahkan jaring ikannya cukup jauh di bawah tebing, dimana rumahku terletak.

"Mereka mengikuti Yesus yang baru saja datang naik perahu." kata si penjala ikan.

Ini adalah kesempatan bagus! Aku dan Octavius saling berpandangan untuk sesaat. Kemudian kami langsung melejit masuk ruang tamu. Untung saja ibuku dan Nyonya Claudia memperbolehkan kami pergi.

Dalam beberapa detik, kami berdua sudah berlari menuruni lereng tebing sambil menikmati angin yang menerpa kami. Otot kakiku berolahraga kembali. Aku dan Octavius berjalan cepat menuju kerumunan itu. Sambil menerobos masuk, aku meraba kantong makanan yang ibuku berikan sebelum aku keluar dari ambang pintu.

Kami berdesak-desakan dengan orang lain sampai harus mengutarkan "permisi", "maaf, kami mau lewat", "tolong, jangan injak kakiku" dan lain-lainnya. Akhirnya juga kami sampai ke barisan yang paling depan. Di situ kami berdiri, lalu duduk ( karena lelah) bersama orang dewasa serta banyak anak.

Saat aku melihat Yesus untuk pertama kalinya dengan mata kepalaku, hal yang mengejutkanku adalah sinar matanya. Sinar matanya sangat lembut, penuh sukacita dan kebijaksanaan tetapi tegas dan tajam. Aku benar-benar merasakan tatapan itu sedang memasuki hatiku dan membaca sejarah hidupku beserta apa yang kupikirkan, kurasakan dan semua yang ada dalamku. Aku berpaling ke Octavius. Ekspresinya sama denganku. Mata terbuka lebar serta nafasnya terhenti untuk sesaat. Aku tertawa dalam hati, mengetahui apa yang is sedang rasakan. Sama sepertiku.

Ah, tunggu. Pause ceritanya sebentar. Menelan ludah.Tenggorokanku kering. Baiklah, kita kembali ke cerita.

Jadi setelah itu, kami berdua mendengarkan pengajaran dan khotbah yang Yesus berikan. Tidak terasa, hari sudah berubah menjadi sore. Matahari nyaris terbenam. Saat itu juga perutku berbunyi keras. Aku rasa aku bukanlah orang satu-satunya yang berbunyi perutnya. 

Aku melihat sekelilingku. Banyak yang mengusap-usap perutnya, gelisah dan mengeluh betapa jauhnya mereka harus mencari makanan karena tidak ada penjual makanan di sekitar ini. Mereka benar juga. Bahkan Ada banyak yang berasal bukan dari daerah sini.

Aku merogoh kantong makanan pemberian ibu. Aku mengintip ke dalammya. Hanya ada lima roti buatan ibuku serta dua ikan yang sudah diolah menjadi ikan bakar. Aroma gurih ikan bakar itu memasuki hidungku. Jelas sekali bahwa bumbu ikan itu meresap sampai ke tulang-tulangnya. Perutku makin keroncongan.

" Psst, Octavius." aku berbisik.

"Apa, Asher?" ia menjawabku. Aku bisa mendengar perutnya juga berbunyi.

"Em...aku punya makanan. Cukup untuk kita berdua. Mau tidak?" aku menawarkannya dengan sukarela.

"Mau saja, tapi..." ia melihat ke belakang. Aku juga.

Semua mata sudah menatap kami dengan tatapan orang Viking yang kelaparan. Untung saja mereka tidak menyerang kami dengan kapak.

" Tapi tidak enak juga makan di depan banyak orang yang kelaparan..." ia melanjutkan bicaranya dengan pelan.

"Kau benar." aku menatap makananku. Aku melihat murid-murid Yesus hilir-mudik, berbicara dengan satu sama lainnya. Aku mendengar mereka menyinggung soal makanan. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah berjalan ke salah satu dari mereka.

"Anu..." aku menyentuh punggung salah satu murid yang sedang menghadap berlawanan denganku. Ia menoleh.

"Aku memiliki makanan. Tolong ambil ini." aku menyodorkan kantong ikan bakar dan rotiku.

Murid itu menerimanya dengan senang hati. Ia tersenyum ke arahku, dan aku membalas senyumannya. "Terimakasih." ia berkata.

Aku kembali ke tempat dudukku. Octavius menepuk lenganku dengan bangga, mengacungkan      Ibu jarinya. Aku melihat si murid itu menyerahkan kantong makananku ke Yesus dan membisikkan sesuatu ke Dia. Yesus menengok ke arahku dan memberikan senyuman terimakasih . Senyumannya menumbuhkan suasana hangat dalam diriku. Aku meringis lebar dan menganggukkan kepalaku.

Yesus berdoa dan memecah-mecahkan rotinya. Ia juga membagi-bagikan Ikan kepada semuanya. Kami makan sampai kenyang, dan terkagum-kagum karena sisa makanannya yang berjumlah dua belas keranjang.

Saat kami beranjak untuk pulang, Yesus mendatangiku. Jantungku berdetak gugup. Rasa ingin jumpalitan memasuki hatiku. Senangnya bukan kepalang!

" Nak, terimakasih sudah memberikan bekalmu." Ia memberikan senyuman kepadaku. Senyuman tersebut membuat sekujur tubuhku mengubah perasaan yang hangat tadi menjadi tambah panas. Nyaman sekali. Aku juga bisa mencium bau minyak Narwastu yang mengudara.

Aku mengangguk mantap serta meringis lebar. " Terimakasih kembali.” 

Ia menaruh tangannya di atas kepalaku yang berambut pendek, dan satunya di bahuku. Ia memberkatiku dan akhirnya 
berkata, “Pulanglah, Asher dengan damai sejahtera.” 

Aku terkejut, girang, serasa memiliki kupu-kupu dalam perutku saat Ia mengetahui namaku tanpa berkenalan. Aku berpamitan dengan senyuman terbaikku, dan mulai berlari pulang menyusul Octavius sambil berlomba menaiki lereng tebing. 

Sampai situ ceritanya, ya. Aduh, Ibuku sudah memberitahuku untuk tidur, agar besok bisa berkunjung ke sekolah Octavius. Sekarang, aku hanya harus membereskan tempat tidurku yang berantakan, terciprat tinta. Ah, besok saja mengganti alas kasurnya. Langsung tidur saja lah. Mataku sudah berat dan aku sudah menguap dua belas kali saat aku menulis. Pokoknya, hari ini adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar