IV Russel Beserta Mimpinya
“Ayah.” Russel
berjalan cepat ke arah Ayahnya yang sudah bersiap-siap di ruang tamu. Liza dan
Alex mengawasinya dari gerbang, jantung mereka berdegup kencang.
“Ayo, Russel,
persiapkan barang-barangmu untuk pergi.” Ayahnya berkata kepadanya.
“No, Dad. Aku…aku ingin tetap tinggal di sini.” Russel memandang Ayahnya dengan perasaan
takut, namun teringat kepada kata-kata Alex.
Apakah kau mau, membayangkan
dirimu lima tahun lagi stress karena tidak bisa menikmati pekerjaanmu? Padahal
kesempatan sudah di ambang pintu!
“Russel, apa yang kau
bicarakan? Kau harus pergi ke Beijing demi meneruskan posisi Ayahmu.” Tuan
Woods berkata tajam.
“Ayah, aku tidak
ingin menjadi seorang pengusaha bisnis sepertimu.” Russel mengepalkan kedua
tangannya.
“Jika kau
terus-menerus bersikap seperti ini, apa yang akan terjadi ke perusahaan keluarga
ketika Ayah sudah tiada? Apakah akan hancur? Atau mengalami kebangkrutan? Nama
keluarga ‘Woods’ tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang penuh hormat,
prestis dan berkuasa lagi. “
“Oh, begitu ya, Ayah.
Ayah lebih menyayangi perusahaan dan nama keluarga dari pada anaknya sendiri?”
Russel menyipitkan matanya. Nafasnya makin memburu. Ia tidak percaya ia
mengatakan ini di depan Ayahnya sendiri.
“Bukan, Russel! Ini
demi masa depan keluarga dan—“
“Bagaimana Ayah
berpikir masa depan keluarga sementara masa depan putramu sendiri tidak
diperhatikan?!” Mata Russel mulai berlinang-linang. “Mungkin bisa saja masa
depan keluarga menjadi cemerlang, tetapi aku akan menyesal mengapa aku memilih
untuk mengikuti paksaan Ayah! Aku memiliki mimpi, aku memiliki mimpi untuk
menjadi seorang arsitek, Yah! Lihat ini! Lihat ini baik-baik!” Russel mengacungkan gambar-gambar bangunan
yang selama ini ia kerjakan.
Ayahnya terkejut saat
mengamati karya-karya putranya. Kini satu tetes air mata bergulir menuruni pipi
Russel.
“Sejak aku berumur
sepuluh tahun, aku ingin menunjukkan semua karya-karyaku dan mimpi apa yang aku
miliki. Tetapi, Ayah selalu berada di kantor atau sibuk berada di luar negeri,
menandatangani kontrak dan perjanjian perusahaan…Ayah tidak pernah bersenang-senang
denganku, bertanya ‘Kau ingin jadi apa, nak?’ kepadaku seperti ayah-ayah yang
lain. Ayah malahan selalu memaksaku untuk meneruskan posisimu setiap kali aku
ingin mengutarkan mimpiku, dan menghancurkan setiap persahabatan yang aku baru
buat di tempat yang kita datangi.” Russel menarik ingusnya dan berusaha
mengendalikan diri.
“Dari mana kau
mendapat semua dorongan ini?” Ayah Russel bertanya sambil mengerutkan kening.
“Semua…semua dari
teman-temanku yang disana.” Ia menunjuk ke arah gerbang, dimana Alex dan Liza
berdiri. “Merekalah yang mendorongku
untuk berani memberitahu Ayah bahwa aku memiliki mimpi. Aku tidak mau,
persahabatanku yang aku buat kali ini, hancur sia-sia.”
Mata Ayah Russel
mulai memancarkan sinar lembut. “Russel, kau benar. Selama ini Ayah tidak
pernah menghabiskan waktu bersamamu. Ayah juga tidak pernah menanyakan apa
mimpimu. Ayah sekarang mengerti, semua yang kau maksudkan,” ia menarik nafas
dalam-dalam.
“Ayah selalu
mengkhawatirkan masa depanmu akan seperti apa, makanya Ayah memaksamu untuk
menjadi pengusaha dan berubah menjadi seseorang yang ambisius. Aku tidak
menyangka bahwa aku malah menyakiti putraku sendiri…” Ayah Russel berkata, dan
ia serius dengan setiap kata yang ia ucapkan.
Russel menyeka air
matanya. Sang ayah merangkulnya. Russel tahu, saat-saat inilah yang ia dambakan
selama hidupnya.
“Maafkan Ayahmu,
Russel. Aku sudah bersalah terhadap putraku sendiri. Kau boleh tinggal di
Washington. Yang paling penting adalah, Ayah sekarang bisa melihatmu berbahagia
dengan mimpimu untuk menjadi seorang arsitek dan berterimakasih kepada
teman-temanmu yang menanamkan keberanian dalam-mu. I’m proud of you, son.” Ayah
Russel tersenyum bangga dan melepaskan rangkulannya.
“Ah, permisi, Tuan
Woods. Pesawat anda sudah menunggu di bandara…” salah seorang pelayannya
mengingatkannya.
“Wah, saya lupa.”
Tuan Woods melirik arloji dan tergesa-gesa mengambil kopernya.
“Ayah akan hadapi
masalah di Beijing dahulu, kita akan bersenang-senang bersama setelah Ayah kembali
ke Washington. Sampai bertemu minggu depan, Russel.” Ia menepuk bahu putranya.
Sekali lagi, ia tersenyum penuh arti ke arah Russel dan masuk ke dalam mobil
yang meluncur ke jalanan.
Dua sosok yang Russel
tidak akan pernah lupakan berlari-lari ke arahnya dan berteriak, “KAU
BERHASIL!!!!”. Lagi-lagi Russel langsung menerima dua paket jeritan heboh serta
rangkulan erat, nyaris membuat jantungnya meledak. Kali ini ia balas merangkul
Liza dan Alex, teman-teman yang mengubah hidup dan masa depannya.
***
Russel terduduk di
bangku taman sekolah. Ear phone
terpasang di kupingnya. Ia tersenyum puas sambil menggambar pemandangan taman.
Di situ ia menambahkan sosoknya, Liza dan Alex yang berbaring di rumput,
menatap langit.
“Hellooo!!” Alex dan
Liza menabrak punggungnya dari belakang sehingga Russel tersentak kaget.
“Aduh! Ada apa, sih?”
Russel memutar kepalanya. Kepala Alex menggantung di pundak kirinya, serta
milik Liza di pundak kanan.
“Habis ini ada acara,
tidak?” Liza bertanya, dan Alex menangguk-anggukkan kepalanya.
“Jangan bilang kalau
kalian akan mengajakku untuk naik roller coaster atau makan ramen dituangi
sambal segunung.” Russel menutup buku sketsanya.
“Bukan. Kali ini surfing di pantai!” Mata Alex berbinar-binar.
“Alex, tolong
berpikir dengan akal sehat.” Russel menggeleng-gelengkan kepalanya sambil
tertawa geli.
“Coba pikirkan, udara sedingin ini, salju sudah mulai bertaburan,
masak masih mau berselancar?”
“Tapi, itu pasti jadi
seru, kan? Di saat cuaca yang membuat kita ingin meringkuk dalam selimut dan
malas keluar rumah, kita malah harus mencoba sesuatu yang menantang!” Alex
sudah membayangkan ia akan berselancar sambil mengenakan pakaian lengkap untuk
musim dingin.
“Jangan, Alex! Nanti
kalau Russel mati, kita pasti harus menanggung biaya pemakamannya yang terlalu mewah,”
Liza mengguncang-guncangkan lengan Alex dengan wajah penuh horor.
Russel tertawa
terbahak-bahak, mendengar kekhawatiran Liza.
“Bagaimana kalau kita
karaoke?” Liza menyarankan. “Nanti aku akan menunjukkan Russel kemampuan
bernyanyiku!”
“Kemampuan bernyanyi
apaan? Suaramu kalau menyanyi malahan terdengar seperti kucing terjepit pintu!”
Alex berkomentar.
“Ah, terserahlah.”
Liza mengibas-kibaskan tangannya. “Pokoknya nanti sore, Russel bisa tidak?”
“Wah, sayang aku
tidak bisa.” Russel mengintip arlojinya.
“Yah… Kenapa?” Liza
dan Alex serentak bertanya, tubuh mereka menjadi bungkuk.
Russel melihat Swiss
Army-nya. “Karena sebentar lagi aku akan—“ kalimatnya tersela dengan suara
klakson mobil yang datang. Ia menengok ke arah sumber suara.
Kaca mobil pengemudi
itu terbuka. “Ayo, Russel!” kata si pembawa mobil sambil tersenyum lebar ke
arah Russel, lalu ke Liza dan Alex.
“Ah, itu ayah sudah
menjemputku,” wajah Russel menjadi terang. Ia membereskan barang-barangnya
dengan ligat.
“Eh, ayahmu sudah
pulang?” Liza bertanya canggung karena ia tahu bahwa mereka sedang diperhatikan
dari jauh oleh Tuan Woods.
“Baru kemarin.”
Russel memasukkan buku gambarnya ke dalam ransel, lalu menutup zipper dengan sekali tarikan. “Oke, aku
pergi dulu!” ia berlari menuju pintu mobil.
“Mau pergi ke mana?”
Alex berteriak agar Russel bisa menedengarnya.
“Ke pameran
arsitektur,” Russel menyahut. Ia masuk ke dalam mobil. “Bye!” ia melambaikan tangannya melalui kaca
mobil, memperhatikan Liza dan Alex yang membalas lambaiannya.
Russel bersandar dan
menyunggingkan sebuah senyum. Ia benar-benar berhutang budi kepada Alex dan
Liza, kakak-beradik yang nyentriknya minta ampun. Jika tidak ada mereka, tidak
mungkin ia mencapai saat-saat ini. Tidak mungkin ia bisa menjadi orang yang
memiliki keinginan kuat serta percaya diri. Tidak mungkin ia berubah dan bertumbuh
sampai sedewasa ini.
Kini hidupnya
diwarnai oleh kebahagiaan, maupun yang berasal dari keluarga atau dari
teman-temannya. Ia melirik Ayahnya yang sedang mengemudi untuk dia. Semua
gara-gara Liza dan Alex, orang-orang yang mewujudkan mimpi dan segala hal yang
Russel dambakan sejak dahulu.
Sekarang ia melirik
kaca spion. Russel melihat sebuah kerlip kecil yang familier, berasal dari
Alex. Figur dua orang itu makin lama makin mengecil, karena mobil Russel sudah
menderu kencang di atas jalanan Washington.
*E.D.K.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar