II Roller Coaster
Russel terduduk di
antara Alex dan Liza. Kakak adik yang memaksa untuk berteman dengannya. Di saat
yang bersamaan, Alex dan Liza melepas penghangat kuping mereka.
“Akhirnya, kita bisa
jalan-jalan setelah pelajaran yang membosankan.” Alex merentangkan tangannya lebar-lebar
untuk merenggangkan otot lengannya. Tidak sengaja, tangannya mengenai hidung
Russel. Si pemilik hidung hanya bisa mengerinyit kesakitan.
“Ngomong-ngomong,
Russel, tadi kau antusias sekali mau pergi bersama kami!” Liza menyikut
pinggang Russel.
“Itu sebenarnya—“
Russel membatalkan niatnya karena sudah terlanjur melihat wajah Liza yang
berseri-seri.
“Sebenarnya apa?”
Alex mencondongkan wajahnya ke Russel, sambil memasang telinganya baik-baik.
“…Sebenarnya…aku
senang sekali diajak keluar bersama kalian.”
Russel langsung
menerima dua paket jeritan heboh serta rangkulan erat, nyaris membuat
jantungnya meledak. Ia menyesal ia berbohong, tetapi sekarang ia merasa lebih
relax, tidak canggung lagi.
“Ini pertama kalinya
kau mengutarkan sebuah kalimat yang panjang!” Liza berkata dalam pelukannya.
“Tolong, lepaskan…”
Russel berkata terlalu pelan, karena tenggorokkannya tercekik. Sepertinya sang
kakak beradik tidak mendengarnya, karena sudah terbenam dalam bau jaket Russel
yang wangi.
Ponsel Liza berdering
tiba-tiba. Ringtone-nya aneh sekali,
karena Russel tidak bisa mengerti satu patah kata pun. Sepertinya itu lagu
jepang. Kepala Liza tiba-tiba melompat dari bahu berjaket bulu, dan membentur
dagu Russel. Russel mendengus kesal, dan menahan rasa sakit yang lama-lama
pudar.
“Hello?” Liza
menempelkan ponselnya ke kuping.
Terdengar dari suara
ponsel itu: “Liza-chan?”
Matanya terbuka dan
bersinar terang seketika, seperti baru mendapat suatu pencerahan.
“ISEZAKII!!” teriakan Liza melengking. Russel
berdoa dalam hatinya agar ia tidak menjadi tuli.
“Ya ampun, sudah lama
tidak menelpon!...Berita bagus? Apa itu?........Yang benar saja?...Oh my
God…Kau tidak bercanda?...”
Russel mempelajari
ekspresi Liza dengan baik-baik. Ekspresinya berbeda dengan sebelumnya.
Sebelumnya ia senang bukan kepalang seperti orang kerasukan, tetapi sekarang ia
makin gembira matanya berbinar-binar, senyumnya sangat berbeda dengan
sebelumnya. Kelakuannya mulai ber-etika, seperti tersihir dengan suara yang
berasal dari ponselnya.
“Sekarang?..….Kami
akan ke Wild Waves Theme Park, sebentar lagi sampai…..bertemu di
sana?...Baiklah, see you!” Liza menarik kedua sudut bibirnya sambil mematikan
ponselnya.
“Isezaki datang? Langsung dari Jepang?” Alex menatap liza
tidak percaya.
Liza mengangguk.
“Kita akan bertemu
dengannya disana?”
Liza masih
mengangguk-angguk, namun mulutnya mengeluarkan senyuman yang Russel tidak bisa
jelaskan.
“Benarkah?!” Alex
menahan nafasnya.
“Benar.” Liza tersenyum.
”Aku tidak bisa
mempercayai ini!” Alex mulai mencabik-cabik rambutnya sendiri.
“Aku juga!!”
“Nanti, kita bisa
mencoba roller coaster bersamanya, lalu berkunjung ke Riverfront Park, lalu—“
“Membeli harum manis
berwarna pink!”
“Dan mengundangnya untuk
menginap di rumah kita, kemudian—“
“Menonton film
bersamanya sampai subuh! Juga –“
“Siapa Isezaki?”
Russel menyela.
***
Rupanya ini dia yang
bernama Isezaki. Alex sekarang berhadap-hadapan dengan seorang anak laki-laki
Jepang. Anak itu bergaya cosplay, rambut lurusnya dicat pirang, memakai frame
kacamata yang terlalu besar sehingga menutupi seperempat mukanya, dan poni
rambutnya sengaja dibiarkan tumbuh agak panjang supaya menutupi alis.
Ia memakai t-shirt
pink yang berkolaborasi dengan rompi abu-abu dan dilapisi dengan jaket hitam
putih abstrak. Celana yang ia kenakan adalah jeans ketat biru kusam, dipadukan
oleh high tops yang menyerupai boots terbuat dari kulit berwarna coklat muda.
Pundaknya mengenakan ransel kuning yang digelayuti oleh berbagai macam
gantungan, dan di telinganya terpasang earphone perak transparan.
Setelah Alex
menceritakan bagaimana mereka bertemu Isezaki yang menyelamatkan Liza yang
nyaris hilang di Frankfurt, Russel mengerti mengapa waktu itu Liza mengira
Isezaki adalah Alex ketika Liza nyaris hilang.
Isezaki dan Alex sangat mirip jika dilihat dari belakang, namun aroma
parfum yang Alex kenakan lebih manis dibanding milik Isezaki.
“ Isezaki, Russel.
Russel, Isezaki.” Liza mengenalkan mereka ke satu sama lain yang berdiri berhadapan.
“Hi.” Isezaki
melambaikan satu tangannya ke Russel.
“Ehm,” Russel
berdeham, masih bingung mau berkata apa. Mengapa susah sekali untuk membulatkan
tekad, sementara makin banyak anak yang mau berteman dengannya? Semua ini
karena Liza. Tunggu, bukan karena Liza. Tapi karena Ayahnya memindahkan mereka
ke Washington dan memilihkan sekolah ini untuknya.
“’Ehm’ …apa artinya?”
Isezaki memiringkan kepalanya.
“Maksudku, senang
bertemu denganmu.” Russel langsung menyemburkan kata-kata itu secara refleks.
Russel mengulurkan
tangannya, dan Isezaki menjabatnya dengan kaku dan lamban, seakan mereka tidak
yakin dengan apa yang mereka sedang lakukan. Kemudian mereka berdiam diri,
tidak tahu apa yang harus dikatakan. Cuma ada sebuah kerlip untuk satu detik,
dan disusul oleh suara jepretan.
“…Eh….ayo kita naik
roller coaster!” Liza berusaha memecahkan suasana canggung.
Tawaran Liza langsung
disambut dengan gembira oleh Isezaki. Alex dan Isezaki sudah berlari menuju
roller coaster tersebut, meninggalkan Liza dan Alex sendirian.
“Ayo!” Liza
menganggukkan kepala ke arah Russel, dan berlari menyusul Alex. Tetapi
langkahnya terhenti, karena Russel hanya terpaku di tempatnya. Terdiam.
Sekarang hanya terdengar suara orang-orang menjerit-jerit asik menaiki setiap
wahana.
“Russel?” Liza
menepuk-nepuk lengan Russel. Rupanya otot lengannya mengeras, dan badannya agak
gemetar.
“Oh! Kau takut naik
roller coaster!” Liza tersenyum nakal.
“…”
“Kalau begitu, tunggu
apa lagi?” Ia menyeret Russel. Tetapi Russel berusaha melarikan diri.
Sayangnya, cengkraman Liza sangat kuat, jadi Liza menutupi matanya dengan kain
hitam yang diikat ketat agar Russel tidak meronta-ronta saat mereka berjalan
menuju arena permainan. Orang-orang pada menatap Russel seperti ia mau berjalan
ke pemancungan.
“Hey, kau! Lepaskan
ini!” Russel berkata ke Liza. Ia
terpaksa harus memegang ujung tas Liza agar ia tidak menabrak.
“Heh, kau pikir kau
ini siapa? Anak presiden saja bukan.” Liza menatapnya iseng.
“Masak aku mau jadi
seperti orang buta? Tidak enak, tahu!”
“Tunggu, pause
sebentar omelanmu. Masuk sini.” Liza mendorongnya masuk ke dalam roller
coaster.
“Ouch!” Russel
mengusap-usap kakinya yang terbentur saat didorong masuk.
“Nah, boleh lanjutkan
omelanmu.” Liza menghempaskan dirinya di sebelah Russel.
“Sekarang, copot kain
ini! ”
“Baiklah, baiklah.”
Liza mencopot kain hitamnya.
Russel tanpa pikir
segera mau melarikan diri, tapi sudah terlambat. Besi pengaman yang berfungsi
sebagai sabuk pengaman sudah turun ke atas pahanya. Kepalanya menoleh ke kanan
kiri, tetapi sudah tidak ada jalan keluar. Roller coaster mulai berjalan.
Panik. Lagi-lagi terdengar suara jepretan menyebalkan itu.
“ Hehehe. Sudah
terlambat.” Liza terkekeh. Tangannya kini mencengkram pegangan roller coaster.
“Berani-beraninya kau
memperlakukan aku, Russel Woods, dengan semena-mena?!” Ia menatap marah
Liza
yang tersenyum kalem ke arahnya.
“Diam. Kau terdengar
seperti juru hukum yang berada di sidang-sidang.” Liza mulai menirukan suara
hakim yang berat dan ditarik-tarik agak berlebihan. ia mengulangi perkataan
Russel sambil mencibir dan mengacung-acungkan tangannya seperti Hitler sedang
berpidato. “Berani-beraninya kau memperlakukan
aku, Russel Woods, dengan
semena-mena?!”
Roller coaster mulai
naik.
“Kau…KAU!!” Russel
menyambar kerah baju Liza. Herannya, Liza hanya menatapnya datar. “Kau akan ku
–AAAHHHH!!!” Roller coaster sudah melaju
di kecepatan kencang, naik turun, berputar-putar. Russel sealu berteriak
histeris di setiap tikungan menanjak, dan tentunya saat-saat itu diabadikan
oleh kamera Alex.
Ketika roller coaster
berhenti, wajah Russel sudah pucat pasi. Ia terhuyung-huyung berjalan ke kamar
mandi, dan muntah. Di perjalanan pulang, Russel yang sudah tidak berdaya hanya
bisa menatap nanar Liza yang sibuk mengolesi minyak angin milik Isezaki -yang
ia beli di Indonesia- di tengkuk Russel.
Setelah ketiga
kawannya mengantar dia pulang jam tujuh malam, semua pelayan dan staff rumahnya
terkejut. Mereka semua pada berbisik-bisik.
“ Ini pertama kalinya
tuan pulang malam.”
“Iya. Dan dia membawa
tiga teman.”
“Aku kira ia tidak
memiliki teman?”
“ Wajahnya terlihat
pucat. Apa yang terjadi padanya?”
“ Entahlah. Hebat
sekali, tuan bisa bergaul dengan anak-anak lain.”
Catherine mendatangi
tuannya. “Tuan, apakah anda sudah makan malam? Jika belum, sudah tersedia makan
malam di…”
“Tidak
usah…terimakasih.” Russel menyela, dan langsung menutup pintu kamar tidurnya.
“…Terimakasih?”
Catherine mengulangi kata-kata Russel, dan memukul-mukul kupingnya. Apakah ia
salah
dengar atau tidak?
***
Russel termenung di
dalam kamarnya. Ia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur, dan menatap hampa
langit-langit kamar. Kepalanya masih berdenyut-denyut. Dasar Liza, si anak
hiperaktif dan keras kepala, berani memaksanya menaiki roller coaster, padahal
ia takut ketinggian. Rasanya ia hampir mati saat ia diputar-putar di atas benda
mengerikan tersebut. Russel bergidik ngeri.
Selama hidupnya, belum
pernah ada orang yang berhasil memaksanya. Kecuali ayahnya. Ia terheran heran melihat
Liza yang penuh semangat menjalani hidupnya.
Sangat bertolak belakang dengan Russel. Kini Russel merasakan bahwa Liza adalah anak
yang sangat nyata, tidak seperti orang-orang lain yang selalu mengikuti
kemauannya.
Bau minyak angin dari lehernya masih tercium.
Terlalu menyengat. Ia berjalan terseok-seok ke kamar mandi dan membuka keran
air. Ia membasuh wajahnya. Tangan Russel yang masih basah berusaha menghapus
bekas minyak, tetapi bau dan hangatnya minyak itu masih saja mengelayuti
lehernya.
Ia menatap wajahnya
yang suram di kaca. Russel heran mengapa Liza dan Alex bersikap baik padanya,
walaupun ia berkata kasar dan tidak memperdulikan mereka. Ada perasaan yang mendorongnya supaya
membatalkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun di Washington.
Russel berganti baju
dan menenggelamkan dirinya di dalam kasurnya yang empuk. Ia kembali teringat
oleh wajah ceria Alex dan Liza dari tadi. Apakah mereka benar-benar
menyukainya? Haruskah ia berteman dengan kedua bersaudara tersebut? Kelopak
matanya terasa berat, dan ia mulai mengantuk. Ia memejamkan matanya. Mungkin…ia
akan bersikap baik kepada mereka. Tetapi sedikit saja. Sedikit. Saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar