III Hanyut Terbawa Arus
“Hoi! Kau melamun
apa?” Alex menjitak kepala Russel dari belakang.
Russel tersentak dari lamunannya, mengalihkan pandangan dari bangunan
megah yang terletak di depan pekarangan sekolah. Alex sudah berdiri di samping
meja kelasnya.
“…Nothing.” Russel beranjak berdiri dan
mulai memberes-bereskan buku pelajaran serta menyembunyikan gambar pekarangan
sekolah yang ia diam-diam buat saat pelajaran. Sekolah sudah selesai.
“Sehabis ini ada
acara, tidak?” Alex mengenakan mantel hijau neonnya.
“Tidak ada, tetapi
dalam sepuluh menit aku harus pulang karena—“
“Come on!” Alex menarik lengan Russel yang terkejut.
Russel sebenarnya
tidak mau ikut, tetapi teringat kembali oleh niatnya semalaman. Ia akhirnya
membiarkan dirinya dibawa oleh Alex.
“Mau kemana kita?”
Russel berlari mengikuti Alex.
“Menyusul Liza dan
Isezaki!”
“Dimana?”
“Di sini!” Alex
mendorong Russel masuk ke dalam kedai kecil Ramen murahan.
Isezaki dan Liza
sudah berada di dalam , memandangi
Russel yang terheran-heran melihat penampilan kedai yang sederhana.
“Duduk sini dong!”
Liza memaksa Russel untuk duduk di kursi plastik berwarna norak.
“Nih, aku memesankan
Ramen spesial untuk Russel.” Isezaki menyodorkan piring berisi mie yang masih
mengebul-kebul dihiasi Tempura di atasnya.
Russel menerimanya
dengan canggung. “…Terimakasih…”
Mereka semua mulai
makan. Russel menyumpit Ramen-nya, mencium aromanya terlebih dahulu.
“Ih…baunya aneh.” Ia
bergumam kepada dirinya. Baunya membuat perutnya terasa mual.
“Makan saja, nanti
lama kelamaan juga suka kok.” Liza
berkata riang.
Russel menyumpitkan
sedikit Ramen masuk ke dalam mulutnya. Ia menelan itu seperti kertas karton.
“Bagaimana rasanya?!”
Liza tidak sabar bertanya.
“…Yuck.” Russel
mengecap-kecap lidahnya, dan meraih botol minumnya.
“Jangan! Tambahkan
ini!” Alex menuangkan tiga sendok saus
sambal ke dalam mangkok Russel.
“Ap—!“Russel mulai
marah-marah, tetapi sudah terlambat karena Alex sudah terlanjur memasukkan
Ramyun ke dalam mulutnya.
“HUAAAHH!” wajah
Russel memerah, dan langsung berkeringat. “Air!Air!”
Bukannya mencarikan
air minum, Alex malahan buru-buru meraih kameranya.
***
“Kau tidak pernah
makan Ramyun seperti tadi?” Mata Liza menjadi semakin lebar setelah mengetahui bahwa tadi adalah pengalaman pertamanya
memakan Ramyun di kedai murahan. Ia juga kaget mendengar latar belakang
keluarga Russel.
Russel
mengangguk-angguk canggung, tetapi mulutnya masih kepedasan jadi ia harus
meneguk air minum setiap tiga puluh detik.
“ Mengapa bisa?
Padahal ‘kan Ayahmu pengusaha kaya.” Alex bertanya sambil mereka berjalan
pulang, mengantarkan Russel ke rumahnya.
“Ia tidak pernah
memperbolehkanku datang ke kedai-kedai semacam itu, dan, yah…katanya itu tidak
baik dilihat jika…seorang anak kaya makan di tempat seperti tersebut.” Russel
menundukkan kepalanya.
Alex dan Liza
terdiam. Hanya terdengar suara tapak kaki mereka serta klakson kendaraan dari
kejauhan.
“Maksudku bukan
begitu!” Russel buru-buru menambahkan, melihat ekspresi kedua temannya.
“Aku selalu
menginginkan untuk datang ke tempat-tempat seperti itu, bermain bersama anak-anak
biasa, menjadi mandiri tanpa pelayan, dan…”
“Kau, merasa senang
bisa bersahabat dengan kami?” Liza bertanya pelan.
Russel terhenti di
tempatnya, terkejut dengan pertanyaan itu. Beberapa hari yang lalu, ia sudah
membulatkan tekadnya untuk tidak berteman dengan siapapun. Kemarin malam, ia
terlanjur memutuskan untuk bersikap baik kepada kakak beradik ini. Namun
sekarang? Ia rasa ia sudah terbawa terlalu jauh. Persis seperti orang yang
hanyut dalam arus sungai dan tidak menemukan pegangan yang ia bisa raih untuk
kembali ke tempat semula.Kenangan masa lalunya terbesit di otaknya, menampilkan
wajah-wajah suram teman-temannya ketika ia mau berangkat ke London.
“Russel?” Alex
menyadarkan dia dari pikirannya.
Russel buru-buru
berjalan lagi. “Senang bersahabat
dengan kalian?” ia mengulangi pertanyaan Liza.
Kedua temannya
menatap Russel dengan penuh semangat, mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Begini, awalnya,
aku…mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan saat aku dulu di Texas,”
Russel memulai ceritanya. Ia senang diperhatikan oleh Alex dan Liza yang
menyimaknya dengan seksama.
“Akhirnya setelah aku
menginjakkan kakiku di Washington Junior High,” Russel mengakhiri pengalamannya
“aku membulatkan tekad untuk tidak berteman dengan siapapun, hanya karena takut
menyakiti hati kalian.”
Ia menendang sebuah kerikil dan tertawa, menyadari
dirinya selama ini adalah seorang pengecut.
Teman-temannya
memandangnya takjub. Liza mulai membuka mulutnya untuk berkomentar bahwa ia
belum pernah melihat Russel tertawa sebelumnya, tetapi Alex membuat tanda untuk
tetap diam.
“Kemudian, lama
kelamaan…rasanya aku menjadi semakin nyaman saat mulai bersikap baik dengan
kalian. Aku sebenarnya sangat bahagia saat mengetahui kalian gembira menerimaku
menjadi seorang sahabat, meskipun aku orangnya sinis, arogan dan pendiam.”
Russel mulai tersenyum malu.
“Baguslah kalau
begitu!” Alex merangkul pundak Russel dengan tangan kirinya.
“Tetapi, aku akan
pindah ke Beijing dua bulan lagi…” senyum Russel menguap.
“Hah?! Mengapa?” dahi
Liza berkerut.
“Iya, mengapa?!” Alex
memprotes.
“Lagi-lagi urusan
bisnis Ayah. Ia memaksaku untuk meneruskan posisinya, padahal aku tidak mau
menjadi seorang pengusaha bisnis.”
“Jadi, kau ingin jadi
apa?” Liza bertanya.
“Aku ingin menjadi
seorang aristek.” Russel berkata mantap. Lebih mantap dari pada hawa dingin
yang menyelimuti Washington. “Coba lihat ini.” Russel membuka buku sketsa yang
ia keluarkan dari tas.
“Wah! Hebat sekali!”
Liza memandangi sketsa bangunan yang terpapar di tiap lembar kertas.
“ Ini patut
diabadikan!” Alex meraih kameranya dan mengambil gambar hasil karya-karya
Russel.
Russel berusaha
menyembunyikan senyum bangganya.
“Hey, mengapa kau
tidak bilang ke Ayahmu bahwa kau ingin menjadi arsitek?” Liza bertanya.
Ponsel Russel
tiba-tiba berdering. Ia mengangkatnya dengan terburu-buru. “Ya?...Oh, ada apa,
Ayah?” nada Russel menurun, demikian juga pundaknya. Ia terdiam untuk satu
menit, menyimak Ayahnya. Wajahnya berubah menjadi murung. “Tetapi, mengapa?
Mengapa harus nanti malam?...Aku tidak menginginkan itu, aku ingin tetap di
Washington…Halo, Ayah? Ayah?” sambungan telpon terputus.
“Ada apa?” Liza dan
Alex bertanya serentak.
“Malam ini aku akan
berangkat ke Beijing karena ada perubahan saham di sana.” Russel menggigit
bibir bawahnya. Ia mulai panik.
“ Tenang, tenang. Kau
tidak ingin pergi, ‘kan?” Alex bertanya sambil memandang Russel dengan penuh
arti.
“Tidak.” Russel menjawab
pahit.
“ Kau masih mau
dipaksa untuk menjadi pengusaha?”
“ Tidak.”
“Apakah kau mau,
membayangkan dirimu lima tahun lagi stress karena tidak bisa menikmati
pekerjaanmu? Padahal kesempatan sudah di ambang pintu!”
“Tidak, aku…tidak mau
membayangkan itu!” Mata Russel mulai berapi-api.
“ Jika begitu,
buktikanlah kepada Ayahmu bahwa kau memiliki cita-cita!”
“Kau pasti bisa,
Russel.” Liza menatapnya dengan yakin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar