I Secarik Kertas Permohonan Maaf
Russel melirik jam tangan Swiss Army-nya. Sudah jam tujuh pagi di musim
dingin, dan supirnya tak kunjung datang. Ia menghembuskan nafas kesal. Padahal
sekolahnya dimulai tiga puluh menit lagi.
Russel membenci orang yang tidak tepat waktu, apa lagi di hari pertama
ia masuk ke sekolah pindahannya di Washington. Menunggu sambil menggambar
sketsa bangunan di dalam buku gambarnya pun juga tidak cukup.
“Catherine, telponkan Houston sekarang!” ia membentak pelayan pribadinya.
“Baik, tuan.” Catherine langsung menyambar gagang telpon ruang tamu dan
menelpon orang yang tuannya tunggu-tunggu.
Beberapa menit kemudian, ada figur seorang lelaki datang mengendarai
motor. Ia berhenti dan berlari tergopoh-gopoh ke arah Russel yang menatapnya
bengis.
Pria yang bernama Houston membuka mulutnya. “Selamat pagi, tuan. Maaf saya
terlambat karena…”
“Sudah tiga kali terlambat, masih saja mau minta maaf. “ Russel
memalingkan pandangannya dari Houston, dan mengencangkan jaket bulunya.“ Keluarkan
porsche-ku dari garasi. Dalam hitungan lima menit, kita sudah harus berada di
jalan utama menuju Washington Junior High. Mengerti?” ia berkata dengan tajam.
“Saya mengerti tuan.” Houston langsung berlari menuju garasi yang berisi
enam mobil. Dua dari lima mobil itu milik Russel.
Ketika Porsche Russel sudah berada di depan Russel, ia beranjak masuk ke
dalam mobilnya. Sebelumnya, ia memastikan bahwa barangnya tidak ada yang
tertinggal.
Catherine membungkuk ke arah Russel saat ia sudah berada dalam mobilnya
sebelum pintunya ditutup.
“Selamat jalan tuan. Berhati-hatilah di jalan dan
semoga—“
Pintu mobil langsung ditutup oleh Russel yang tidak menghiraukan perkataan
Catherine dan melesat menuju jalan utama. Ia segera memasang headphone Schinzer
dan menyetel volumenya keras-keras. Lebih keras dari yang ia butuhkan untuk
menghilangkan suara Catherine yang terngiang-ngiang dari otaknya dan alasan
konyol Houston mengapa ia terlambat . Ia
sekarang hanya bisa mendengarkan deru Porschenya samar-samar.
Mata Russel menangkap pemandangan pepohonan yang sudah gugur daunnya. Ingatannya memancarkan adegan semalaman antar
dia dan ayahnya bertengkar. Ia masih mengenang bagaimana Ayahnya, sang presiden perusahaan bisnis
keluarganya, memaksanya untuk meneruskan posisinya. Padahal ia tidak memiliki
minat sama sekali untuk itu. Ibunya juga sibuk menjalankan bisnis, dan keduanya
tidak memiliki waktu untuk Russel. Ia hanya menginginkan kasih sayang dari
orangtuanya.
Ia juga heran mengapa keluarganya
harus pindah ke Washington karena alasan bisnis. Padahal, Texas dan London
sudah cukup baginya. Dan ditambah dua bulan lagi, ia akan keluar dari Washington
dan ikut terbang ke Beijing bersama Ayahny. Ia disuruh untuk mulai mengikuti
perkembangan perusahaan sambil bersekolah di sana. Hanya karena paksaan Ayahnya
yang ambisius.
Russel mengeluarkan buku gambarnya dengan hati-hati. Ia tidak tahu mengapa
gambar-gambar itu yang selalu meringankan pikirannya saat ia sedih, lesu,
frustrasi atau tertekan. Ia tidak ingin menjadi seorang pengusaha bisnis,
tetapi seorang arstiek. Russel tersenyum kecil melihat sketsa yang memenuhi
setiap halamannya. Buku itu dipenuhi oleh desain-desain rumah, termasuk rumah
yang ia tempati di Texas dan London.
Setiap kenangan yang ia bangun di
setiap kota selalu hancur, demikian juga pertemanannya. Russel mengingat
bagaimana ia dulu bisa tertawa, bercanda dan menikmati setiap detik bersama
teman-temannya di Texas. Lalu semuanya berubah menjadi gelap saat ia harus
pindah ke London. Ia masih teringat betapa hancur hatinya saat ia harus pindah.
Ia harus meninggalkan wajah-wajah teman-temannya, yang menatapnya dengan
berkaca-kaca dengan kehilangan di kejauhan. Itu terlihat dari jendela pesawat
Russel yang sedang lepas landas.
Dan sekarang ia berada di
Washington. Ia merindukan kehidupannya dulu yang menyenangkan, penuh semangat
dan bahagia bersama semua kawannya. Tetapi ia kembali teringat bahwa itu dulu.
Sekarang sudah berbeda.
Sejak di London, ia memutuskan untuk tidak berteman, bersikap baik atau
tertawa dengan siapapun. Ia sudah tahu betapa tidak enak namanya ‘perpisahan’
itu. Biarkan orang memanggilnya ‘manusia
tidak berhati’, tetapi yang penting ia tidak akan melukai hati siapapun atau
hatinya. Russel menghela nafas, mendekap buku sketsanya dan memejamkan matanya
untuk sesaat. Lehernya bersandar di
sandaran kursi yang beralaskan jaket bulunya yang hangat dan lembut.
Matanya mendadak terbuka karena mencium bau parfum norak Houston terkena air conditioner mobil. Lehernya berputar
ke kanan. Dari kaca, terpampang pemandangan sebuah sekolah yang berukuran
sedang. Anak-anak sekolahan bermain di pekarangan sambil tertawa dan tersenyum.
Di papan bangunan itu tertulis:
Washington Junior High
Nama yang menarik.
Menarik suasana tidak enak ke dalam diri Russel.
“Tuan, kita sudah
sampai.” Houston berkata dan membukakan pintu mobil.
Russel menginjakan
kakinya untuk pertama kalinya di tanah sekolah itu. Ia mengacuhkan murid-murid
yang asik melakukan aktifitas. Ia hanya berkonsentrasi berjalan ke pintu masuk
sekolah. Beberapa dari mereka melongo melihat penampilan Russel.
Dari atas sampai ke ujung kaki ada headphone
Schnizer, syal rajutan murni dari Eropa dengan benang terbaik, jaket bulu putih,
jam Swiss Army, sarung tangan yang senada dengan syalnya, denim Levi’s, sepatu
boots hitam yang menutupi mata kaki sampai di bawah lutut dan tas kulit Gucci
berisi buku-buku.
Lalu ada sebuah bola
basket melayang dan mengenai kepalanya. Russel terjerembab jatuh di depan semua
anak.
“Tuan!” Houston berlari ke arah
Russel, tetapi sudah didahului oleh seorang anak perempuan bersyal ungu.
“Maaf! Maaf sekali! Ini gara-gara kakakku, dia melempar bola basket
terlalu tinggi lalu menghantam kepalamu, padahal aku sudah memberitahunya agar
untuk hati-hati, tetapi dia tidak mau mendengarkan, lalu bola itu naik ke atas
saat dia melemparnya, lalu, lalu…” anak perempuan tersebut dengan spontan
terbata-bata berkata sambil
menggerak-gerakkan tangannya, namun terhenti, teringat bahwa Russel masih dalam
posisi terjerembab.
“Eh…biar kubantu berdiri.” anak perempuan itu mengulurkan tangannya ke
Russel yang menatapnya sinis.
“Tidak usah.” Russel membuang muka, hendak berdiri, tetapi terlanjur anak
itu tetap menarik pergelangan tangannya untuk berdiri.
Saat itu juga Russel kehilangan
keseimbangan, tetapi untungnya pemilik syal ungu menahannya. Russel mendengus
kesal, mengetahui perempuan ini tetap bersikeras untuk membantunya. Kemudian terdengar
suara jepretan dan kerlip sebuah kamera dari depannya.
“Alex!” si anak perempuan itu berteriak ke seorang anak laki-laki yang
bernama Alex. Terlihat cengiran nakal dari mulut si Alex, tetapi matanya masih
ditutupi oleh kamera.
Mata Russel melebar. Pipinya merona dan berusaha cepat-cepat melepas
pegangan anak keras kepala itu.
Tetapi sia-sia. Pegangan yang semula terasa
lemas di pergelangan Russel tiba-tiba berubah menjadi tegang. Russel mendongak dan
menemukan anak yang menabraknya melotot ke arah Alex.
“Wah, posemu jelek sekali di sini, Liza.” Alex melepaskan kamera dari
matanya, dan mengecek foto yang telah diambilnya.
“Enak saja mengambil foto tanpa minta izin!” anak yang bernama Liza
melempar pergelangan tangan Russel dan berderap menuuju Alex. Ia langsung
mencengkram kerah si fotografer. Kakinya
langsung menendang milik Alex.
Russel menatap Liza dengan ngeri, buru-buru beranjak dari tempatnya.
Tetapi Liza berteriak “Tunggu!”
Russel menyipitkan matanya. Apa lagi? Tetapi bel sekolah sudah berbunyi.
Russel memalingkan wajahnya dari Liza, dan mulai berjalan masuk sekolah.
***
Ketika matahari mulai naik di langit Washington, Russel terduduk lesu di
kursinya sambil melamun ke luar jendela kelas. Pensilnya sibuk menggambari kertas
soal aljabar dengan sketsa bangunan. Ia tak habis pikir mengapa gurunya
repot-repot memperkenalkannya ,“Russel Woods yang berasal dari London”, di depan kelas delapan. Dan lebih parah lagi,
anak perempuan mengerikan tersebut bernama Liza tersebut berseberangan meja
dengannya.
“Psst, Russel.” Liza berbisik ke arahnya, mencuri kesempatan ketika
gurunya sedang menulis soal di papan.
Russel bergeming, seolah ia tidak mendengar apapun.
“Hey!” Liza melemparkan gumpalan kertas yang mendarat di kepalanya.
Russel melotot marah ke Liza, tetapi sepertinya Liza tidak
memperdulikannya. Liza mengulurkan tangannya dan menarik telapak tangan Russel.
Badan Russel berubah tegang, makin merasa canggung dan malu karena
ditonton oleh beberapa murid-murid lain.
“Nih.” Liza menaruh gulungan kertas kusut berwarna hijau di dalam telapak
tangan Russel.
Russel menerima kertas itu dengan ragu-ragu. Ia membaca isinya. Yang benar
saja.
Temui aku dan Alex di pintu
gerbang sekolah. Kami akan mengajakmu bersenang-senang di sekitar Washington,
sekaligus untuk mengubah wajah cemberutmu yang tidak keruan, seperti orang
habis di-PHK! Itu semua untuk permintaan maaf atas kejadian tadi. J
LIZA xx
Russel melihat ke arah
Liza yang sibuk menggigiti ujung pensilnya, bukannya mengerjakan soal latihan
aljabar. Russel membaca ulang isi surat itu. Ia tidak percaya anak perempuan
itu benar-benar serius. Tapi
Russel sudah membulatkan tekadnya untuk tidak
berteman dengan siapapun di Washington.
Beberapa jam
kemudian, jam menunjukkan sudah pukul dua siang. Bel sekolah kembali berbunyi,
dan Russel melangkah keluar kelas. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Kemudian ia
mengenal sosok anak perempuan bersyal ungu melintas di depannya sambil
bercakap-cakap dengan teman-temannya. Russel langsung mempercepat langkahnya
untuk keluar dari gedung sekolah, dan menghindar dari Liza.
Russel mendesah puas.
Sekarang ia sudah di halaman keluar. Yang hanya ia perlu lakukan sekarang
adalah menyusuri jalan menuju pintu gerbang sekolah, masuk ke dalam Porschenya
yang sudah menunggu di sana, dan melaju ke rumah sambil menggambar sebuah
desain bangunan yang baru.
Saat ia mau menginjakkan kakinya keluar pintu
gerbang dimana Houston menunggu, lengannya langsung diseret oleh sepasang
tangan dan terdengar bunyi jepretan kamera.
“Hey!” Russel
berteriak ke arah si penyeret.
“Kau sedang menunggu
kami bukan?” Liza bertanya riang, sementara Alex berdiri di belakangnya sambil
memotret Russel yang diseret Liza.
“Kalian! Enak saja
menyeret orang!” Russel berteriak marah dan meronta-ronta untuk dilepaskan.
Persis seperti anak kecil. Percuma ia berkata seperti itu, karena kakak beradik
heboh tersebut menggunakan penghangat kuping.
“Eh, Russel kenapa?”
Alex bertanya heran, matanya terlepas dari kamera.
“Mungkin dia kena
epilepsi?” Liza menggaruk-garuk kepalanya. “Aku akan menelpon ambulans kalau
begitu.”
“Oh, bukan begitu, ia
bilang ‘jalan-jalan nanti pasti enak!’” Alex berkata.
“Lepaskan aku!” mata
Russel berapi-api.
“Dia bilang ‘Lepas
landas yuk!’” Alex menyengir lebar.
“Kalau begitu, mau
tunggu apa lagi sekarang? Ayo jalan!” wajah Liza berseri-seri. Ia dan Alex
mulai menyeret Russel masuk ke dalam salah satu bus yang berhenti di depan
mereka.
“Houston!” Russel
berteriak ke arah supirnya, tetapi sepertinya Houston tidak melihat dia dan
tidak mendengarnya sama sekali.
“Apa? Haus? Sabar,
sebentar lagi saat kita sampai di sana akan ada banyak minuman!” Alex
mendorongnya masuk bus.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar