Jane belari-lari kecil,
mengitari domba-domba berbulu putih yang berjalan kesini kemari. Tongkat
gembalanya teracung-acung ke arah kawanan itu. Ia mendongak ke atas. Masih
pagi.
“Topaz!”ia bersuit.
Munculah seekor anjing German
sheperd berbulu keemasan. Ekornya mengkibas-kibas kesenangan serta lidah merah
jambonnya menjulur keluar. Anjing itu menggonggong kesenangan, menyahut
panggilan Jane.
“Ayo cepat, nanti kita tidak
bisa melihat matahari terbit!” Jane berkata sambil rambut cokelat berombaknya
berkibar-kibar karena ia menoleh ke Topaz dan kawanannya yang mulai menjauh.
Dengan buru-buru ia menutup gerbang kecil peternakan.
“Sharon! Aku pergi dulu!” Ia
berteriak dari jauh ke arah jendela kayu di lantai dua yang mulai terbuka.
Kakinya mulai berderap mengejar Topaz dan domba-dombanya.
“Miss Jane! Jangan kabur dulu, tuan dan nyonya masih belum bangun !"
Jane mulai berlari tanpa memperdulikan Sharon. Dengan
nafas tersenggal-senggal ia sampai di sebelah Topaz yang sibuk mengawasi
kawanan.
“Topaz, jaga dulu ya, aku mau
naik ke bukit sebentar.” Jane mulai berjalan cepat ke arah sebuah bukit mungil
yang terletak agak jauh. Topi yang digantungkan di belakang punggungnya
melambai-lambai seirama hentakan kakinya.
Ia tersenyum lebar, mengambil
nafas dalam dan mengeluarkannya. Nah, ini dia momen yang ia tunggu-tunggu.
Matahari mulai merekah dari belakang pegunungan
seperti balon berwarna emas yang kemudian pecah menjadi cahaya kuning
nan hangat. Lambat laun, cahaya itu makin tinggi, menyebabkan lagit yang biru
tua berubah menjadi biru muda.
Mendadak angin besar berdesir
dan melepaskan topi Jane dari ikatannya. Topi itu mengudara seketika. Jane
mendelik.
“Hey, kembali!” Secara
refleks ia langsung mengejarnya sambil berusaha menggapainya.
Ia sangat beruntung topi itu
tersangkut di suatu pohon besar yang rindang. Ia memanjatnya dengan cekatan. Ia
terus naik ke atas. Naik, naik, naik.
Ia bisa mendengar desah puas angin, melihat
perlombaan awan yang berlari dengan kecepatan tinggi menuju utara, memerhatikan
surai api kuda-kuda dari matahari yang turun ke bumi dan menatap wajah langit
yang
sedang memperhatikannya. Tanpa ia sadari, ia sudah berada di batas
cakrawala.
Sesampainya di atas, ia
berdecak kagum melihat pemandangan di sekitarnya. Dan langsung menyambar
topinya yang tergantung di suatu dahan. Menalikannya erat-erat. Kemudian saat ia menengok ke atas, ia terperanjat.
Aurora berwarna biru keunguan
terpapar di atas langit, berkilauan. Langit yang tadinya biru muda yang
seharusnya terang tiba-tiba berubah menjadi kelam. Seluruhnya terbuka menjadi
sebuah portal, menampakkan luar angkasa
yang dihiasi oleh miliaran bintang.
“Tidak mungkin...ini indah
sekali…!”Jane bergumam sambil tercengang. Matanya berkilat-kilat kesenangan.
Untuk beberapa saat, semua terdiam. Bahkan
tidak terdengar suara hembusan angin atau kicauan burung. Semua galaksi tersorot
dari jauh. Hanya ada satu meteor yang melintas. Kemudian pemandangan dari
portal itu buyar menjadi keping-kepingan awan yang menjadi bagian langit. Semuanya
kembali jadi normal.
“Yah…” Jane masih ingin
melihatnya sekali lagi. Saat ia mulai beranjak pergi dan membalikkan badannya, dalam
seketika ia terpaku di tempatnya lalu membekap mulutnya sendiri yang menjerit
kecil.
“Kau tidak akan melihat itu
setiap hari.” Seorang anak laki-laki bersandar di dahan lain yang terletak di
belakang Jane. Tangannya terlipat dan poninya acak-acakan tertiup angin.
“Siapa kamu?!” tanya Jane secara refleks. Matanya melotot.
“Jay.” Ia menjawab singkat, tidak tersenyum sama
sekali. Ia menyingkirkan poni hitam yang
menutupi matanya. “Kau?”
“J-Jane… Aku tinggal di
sebuah peternakan tidak jauh dari sini…” Ia memaksakan seulas senyum walau
masih shock. Tetapi sangat ingin tahu tentang anak yang di
depannya. “Kalau Jay tinggal dimana?”
Jay memandangnya dalam-dalam “Tidak
perlu tahu.” Kemudian ia menggumamkan bahasa asing.
“Jujur saja, kau tinggal di
mana? Sepertinya kau bukan dari daerah sini.” Tanya Jane antusias. Rasa
kagetnya sudah menghilang seketika.
“Sudah kubilang, tidak perlu
tahu.” Jay menyipitkan matanya. “Bukan urusanmu.” Ia menambahkan.
“Kamu sinis sekali ya.” Jane
berkata langsung tanpa memerdulikan perasaan Jay. Matanya memperhatikan jemarinya
yang sibuk membenahkan rambutnya yang kusut. “Ngomong-ngomong, kamu dari tadi
mengawasiku?”
Jay hanya bisa menatapnya
nanar. “ Iya, semenjak kamu berlari meniggalkan anjingmu.”
Jane mengangkat satu alisnya.
Ia menatap mata Jay lalu berkerut samar. “Hey, matamu...”
“Apa?”
“…Berwarna ungu ya?” Jane
tersenyum lebar.
Jay mengedipkan mata dua kali
sambil menggigit bibir bawahnya. “Kamu berbicara apa? Mataku berwarna coklat.”
Jane mencondongkan tubuhnya
lebih dekat. “Ah, iya, betul juga!” ia
tertawa.
“Sana, turunlah. Bukannya kau
harusnya memiliki tugas lain?” Jay mulai beranjak dari tempatnya sementara
kedua tangannya ia kebelakangkan.
“Ya ampun! Aku hampir saja
lupa!” Jane dengan terburu-buru menuruni pohon yang tinggi itu. Hangatnya
matahari mulai meresap ke dalam tubuhnya dan burung-burung mulai berkicauan.
Kepalanya masih berpikir
keras tentang sikap Jay dan kata-kata yang ia ucapkan. Semuanya… aneh.
Firasatnya mengatakan ia harus kembali, tetapi otaknya melawan keras dengan alasan-alasan
lain. Ia harus kembali. Harus. Jane memaksakan tubuhnya untuk bergerak, walau
tidak enak melawan otaknya. Kakinya yang memanjat turun mulai memanjat naik
lagi.
Akhirnya tangannya
menggapai-gapai dahan paling atas. Ketika ia mendapatkannya, langsung ia
menarik dirinya. Sampai. Tetapi mengapa ada suara aneh? Suara itu seperti lolongan
serigala, tetapi bercampur suara air yang teraduk-aduk dengan badai petir.
Ia melongok ke atas. Matanya
menangkap sosok Jay memegang sebuah elemen yang berputar-putar di atas kedua
telapak tangannya. Elemen itu mirip bola api, tetapi berwarna ungu, persis
seperti warna matanya tadi yang ia salah
lihat. Atau ia tidak salah lihat.
Mulut Jane menganga. Ia
menampar pipinya sendiri sampai merah. Tidak, ini bukan mimpi. Kemudian ia
memperhatikan mata Jay yang tajam. Mata yang tadinya menjelma menjadi warna
cokelat berubah menjadi ungu perlahan-lahan.
Jay tiba-tiba tergelincir, kakinya
kehilangan pijakan. Tangannya menggelepar mencari pegangan tetapi hanya
menemukan dahan kecil untuk bertahan. Lama-lama dahan itu mulai retak. Jane
menahan nafasnya.
Jay menengok ke bawah. Hanya
ada tanah kosong yang terbaring puluhan meter dari dahan itu. Keringat dingin
mulai membanjiri kening serta punggungnya. Ia bergidik membayangkan dirinya
mati terjatuh dengan kepala pecah di tanah. Tidak, ia tidak mau mati sekarang.
Dahan kecil itu patah. Ia bisa merasakan dirinya melayang. Udara mulai
menusuk-nusuk kulitnya seperti jarum. Tamatlah dia.
Di saat yang tepat, ia
merasakan tangannya ditarik oleh seseorang. Tangan yang menyelamatkannya terasa
hangat. Keringat dinginnya mulai berkurang. Beberapa detik kemudian, ia sudah
di atas. Ia menemukan wajah yang khawatir dan ketakutan. Wajah seorang gadis
yang berambut coklat kusut.
“Kau…” Jay memulai, tetapi
jantungnya tidak bisa berhenti berdetak karena shock.
“Jay tidak apa-apa, kan?”
Jane bertanya cemas. “Apakah kau tidak berhasil?”
“Kau melihatku? Melihat aku
melakukan semua itu?” Jay tercengang sekaligus takut.
“Benar.” Jane terkekeh.
Keduanya teduduk. Masih belum
percaya dengan apa yang barusan terjadi.
“Bagaimana kau bisa kembali
ke sini?” Jay bertanya pelan.
“Oh, itu. Aku kembali karena
aku menyadari hal yang aneh darimu. Seperti kau tiba-tiba muncul di hadapanku, berkata
bahwa aku memiliki tugas lain, padahal kau tidak melihatku menggiring
domba-dombaku. Kau juga tidak mau memberitahu cara kau sampai ke sini, kau menggumamkan
bahasa asing, matamu tadinya berwarna ungu dan menaruh kedua tanganmu di
belakang. Itu tidak biasa.” Jane meringis.
Jay melengos.
“Dan kau bilang bahwa kau
sudah mengawasiku sejak aku meninggalkan anjingku. Bagaimana kau bisa tahu semua itu? Padahal
aku meninggalkan Topaz satu kilometer dari sini. Mustahil ‘kan manusia bisa
melihat jauh dari pohon di atas sebuah bukit kecil. Hanya elf yang bisa melakukan itu!” Mata Jane mulai berbinar-binar.
“Kau mengatakan aku bukan
manusia?” Jay berkerut samar.
“Tepat sekali!” Jane
mengacungkan jempolnya. “Dan menurutku, kau terdampar karena portal itu terbuka,
dan kau ingin kembali membuka portal itu agar kau bisa pulang!”
Suasana hening untuk sesaat. Hanya ada suara burung dan daun-daun yang
bergesekkan.
“Hebat. Semua tebakkanmu
benar.” Jay memandang mata Jane dalam-dalam. Matanya mulai berubah ke warna
aslinya.
“Jadi, bagaimana sekarang?”
Jane bertanya.
“Yang jelas aku tidak akan
bersikap sinis lagi kepadamu…Maaf aku sudah bersikap seperti itu.” Pandangan
Jay
menerawang masuk ke dalam matan Jane yang hangat. Raut mukanya menjadi makin
serius.
“Hah, kau ini, begitu saja
sudah merasa bersalah!” Jane meninju pelan lengan Jay sambil terbahak-bahak.
Tawanya memecahkan sikap canggung Jay.
Si pemilik mata ungu berusaha
menahan senyumnya.
Tak lama kemudian, kedua
orang itu sudah asyik mengobrol seperti teman lama.
“Ngomong-ngomong, Jane. Terimakasih
ya sudah menolongku.” Jay berkata dengan jelas dan agak lantang. Supaya Jane
tidak salah dengar.
“Bukan masalah.” Jane
menjawab dengan senang hati. Bola
matanya berkelip.
Anak ini…Jay
membatin. Lagi-lagi gadis berambut coklat kusut ini membuat Jay merasa nyaman
dan hangat. Hangat yang ia belum pernah rasakan di dunianya. Kemudian, Jay
tersenyum lebar. Untuk pertama kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar