Ketika bulan
berlingkaran penuh terpampang di atas langit, ada sungai lebar yang masih
mengalir dan memantulkan cahaya bulan ke sekitarnya. Ada sebuah kapal mewah dan
besar yang mengambang bebas di atas air.
Kadang kapal itu terayun-ayun pelan saat diterpa ombak kecil, atau berguncang
dengan keras saat ombak keras menghantam.
Samar-samar, terlihat
dua sosok bayangan dari dalam jendela yang diterangi oleh lampu LED. Satu
bayangan adalah perempuan, dan satunya laki-laki.
“Zircon, kamu harusnya
seperti ini!” Onyx menukar kartu jack
kakanya dengan as .
“Lho, bukannya yang
itu lebih tinggi dari pada as ya?”
Zircon bertanya kepada adik perempuannya.
“Bukan, masak lupa
apa yang…ayah ajarkan dulu?” Onyx tertawa kecil.
“Aku tidak tahu
mengapa…ayah…belum pulang dari proyeknya sekarang, padahal sudah tujuh tahun.
Kabar yang ia berikan dua tahun lalu hanyalah ia harus meneliti lebih lama, dan
memiliki sebuah rumah baru,” Ia berkata dengan nada yang biasa, tetapi matanya
berlinang-linang air mata.
Zircon terduduk diam,
menyingkirkan tumpukkan kartu yang ada di depannya. Keningnya berkerut samar.
Untuk sesaat, hanya ada bunyi air mengalir serta serta diiringi suar
jangkrik-jangkrik.
“Aku tahu,” ia memulai “ini sangat sulit untuk
kita…apa lagi ditambah...kematian ibu.”
Suaranya mulai bergetar, tetapi ia mengambil nafas dalam.
“Aku merindukan
keduanya, meskipun kita sudah memiliki kehidupan yang lebih baik dibandingkan
yang dulu.”
“Sebentar lagi, Onyx,
aku berjanji.” ia mendekap adiknya yang berkaca-kaca. “Kita akan segera berjumpa
dengan ibu dan ayah kita. Jika saja kita bisa mempercepat proses pembuatan
mesin waktu…”
Onyx yang terhibur
dengan perkataan Zircon melepaskan pelukannya, “Aku harap ayah tidak keberatan
melihat kita memakai kapalnya untuk percobaan.”
“Ia pasti bangga
dengan kita.” Zircon menyengir. Ia menepuk-nepuk kepalanya yang berambut hitam
kecoklat-coklatan.
Di pagi hari, seekor
burung yang hinggap di jendela menemukan mereka bekerja dari semalaman.
“Onyx, coba lihat
sini!” Zircon berkata dengan antusias, matanya yang hijau berbinar-binar.
Onyx berlari ke arah
Zircon, “Apa yang terjadi?”
“Kita hanya
memerlukan satu zat lagi untuk menyelesaikan mesin ini! Yang diperlukan
hanyalah sesuatu yang memiliki kehidupan yang terdapat dari yang hidup, bisa
menghidupkan barang yang mati, tidak akan teroksidasi dan terletak di dalam
sumber zat itu… dan yang paling penting adalah elemen ini tidak mengandung besi
dan tidak terbuat dari dua macam elemen.”
“Bagaimana dengan
oksigen? Hanya memiliki suatu elemen, bisa menghidupkan, tidak mengandung besi,
dan terdiri dari satu elemen.” Onyx menyarankan.
“Tapi dia tidak
terkandung di dalam sumbernya kan?” Zircon menggaruk-garuk kepalanya walau tak
gatal.
“…benar juga…” Onyx
menybakkan rambutnya yang berantakan.
“Kalau hidrogen?”
“Bukan.”
“Iodin?”
“Beracun, tetapi bisa
menjadi antiseptik. Sama sekali tidak memberi kehidupan.”
“Sulfur! Tidak
mungkin.” Zircon kembali termenung.
Dari pagi sampai
malam mereka mencari tahu apa unsur yang mereka harus temukan, tetapi tidak
sampai Onyx berteriak “Zircon! Ada kebakaran!”
“Apa?! Dimana
pusatnya?!” matanya membelalak, seketika itu ia langsung berdiri meninggalkan
komputer dan peralatannya.
“Di ruang kendali!”
Keduanya bergegas ke
ruang kendali, tetapi sudah terlambat.
Meskipun pemadam api otomatis yang di atas langit-langit sudah berfungsi
semaksimal mungkin, api sudah menjalar ke kiri dan kanan mereka, menghadang di
setiap sudut. Warnanya bukan merah, melainkan biru yang berarti tingkat paling
panas dalam api. Bau menusuk mulai menguasai ruangan.
“Mesin waktu kita,
masih di ruang kerja…!” Onyx teringat seketika. Mata hijaunya memancarkan sinar
horor.
“Jangan, pasti api
sudah membakarnya. Hidup kita lebih berharga daripada sebuah mesin belaka…”
Zircon berkata-kata, tetapi hanya ia sendiri tahu bahwa ia tidak rela.
Onyx kembali menatap
ruang kerja mereka . Ia menatap kakaknya, ke ruang kerja, lalu kembali ke
Zircon. Tatapannya sangat memohon, matanya menunjukan bahwa ia tidak memiliki
harapan lagi.
Bagaimanapun juga,
Zircon tetap menggelengkan kepalanya dengan berat ke arah adiknya, Onyx yang
malang.Ia sudah membulatkan tekadnya untuk melindungi Onyx, meski Onyx
meronta-ronta atau menangis demi mengambil mesin waktu itu, ia tetap akan
menahannya. Onyx hanyalah satu-satunya yang tersisa dari keluarganya. Ia tidak
mau Onyx menghilang dari hadapannya. Sungguh.
Zircon menarik tangan
Onyx, berlari ke pintu keluar. Sebuah pilar terjatuh dan memblok jalan. Suaranya
bagaikan ular yang berdesis keras, dan asap membius menyebar. Kedua itu
membalikkan badan ke belakang, tetapi percuma saja. Dimana-mana ada api. Hanya
ada satu pilihan tersisa.
“Onyx, mundur!”
Zircon berteriak ke adiknya yang panik.
“Apa yang akan kau
lakukan?!” Onyx terkejut. Saat itu juga, ia menyadari bahwa seorang kakak jauh
lebih berharga dibandingkan mesin waktu. Tak sampai hati Onyx membiarkan
satu-satunya orang yang ia sayangi melukai dirinya sendiri demi seorang adik
perempuan yang tidak bisa apa-apa.
“Aku akan baik-baik
saja.” Kakaknya membaca ekspresi wajahnya dengan serius.
Onyx dengan pasrah
mundur. Dengan satu tendangan keras yang menggelegar, jendela kapal
terpecahkan. Untunglah itu terbuat dari kristal, jadi tidak tajam.
“Lompat, sekarang!”
Zircon menggenggam pergelangan Onyx, lalu terjun ke air sungai yang dalam, biru
dan dingin. Kapal yang mereka tinggalkan seketika itu meledak, seperti bom yang
dipersiapkan.
Dengan nafas
tersenggal-senggal mereka berenang ke daratan. Zircon dan Onyx melempar diri
mereka ke tepi. Semua basah kuyup. Dunia menyambut kedua saudara ini dengan
dingin, sama seperti angin yang berdesir
kencang.Zircon dan Onyx
saling bertatapan sambil menggigil. Mereka tahu tidak ada yang tersisa. Hanya sepotong
harapan yang mereka kantongi.
“Jadi…apakah ini
takdir? Apakah hilangnya seorang ayah dan matinya seorang ibu tidak cukup untuk
kita? Bahkan sebuah mesin waktu, sebuah harta bernilai, juga turut terbakar…”
Onyx memulai dengan suara serak. Bibirnya berubah menjadi biru, tetapi ia tidak
memperdulikannya.
Zircon menatap tanah.
Perasaannya bercampur aduk. Takut, kekhawatiran, rasa tidak aman dan kemarahan.
Ia kembali teringat usaha yang mereka buat untuk membangun mesin waktu. Mereka
mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan emosi, tetapi semuanya sia-sia. Ia
sendiri tidak sadar setetes air mata bergulir di pipinya dan menetes di atas
tangannya yang lecet.
Jadi…apakah ini takdir? Tidak. Ia melihat seorang
gadis berambut hitam kecoklatan yang duduk di sebelahnya, bibirnya biru dan
kulitnya pucat. Ia menatap dirinya di permukaan sungai. Keluarga inilah harta
sesungguhnya, bukan sebuah mesin waktu. Mereka sudah berhasil melewati semua
rintangan hidup, dan bertahan sampai akhir. Zircon tersenyum dan merangkul Onyx.
“Aku dan kamu…adalah
harta sesungguhnya.” Ia berbisik dalam telinga Onyx.
Onyx demikian
merasakan hal yang sama. Ia menangis tersedu-sedu.
“Apa yang terjadi?
Apa—“ suatu suara asing masuk, tetapi tiba-tiba terhenti saat pemilik suara itu
melihat sosok kedua orang itu.
Zircon dan Onyx
memalingkan wajahnya ke asal suara itu dengan cepat. Mata mereka terbuka, mulut
mereka ternganga. Zircon berdiri perlahan lahan, kemudian disusul Onyx. Onyx
menggandeng tangan Zircon dengan erat, lalu saling bertatapan. Mereka tidak
bisa berkata-kata, tetapi ada suatu perasaan yang tidak bisa dijelaskan muncul.
Ya Tuhan…Ini tidak mungkin terjadi.
Zircon menatap orang
tersebut dalam-dalam. Sebuah senyum terulas di wajahnya. Orang itu juga mulai
tersenyum dengan sinar mata hijau yang lembut dan berkaca-kaca.
Kemudian Zircon mengeluarkan satu kata. Kata yang sekarang tidak
terdengar asing lagi.
“Ayah?”
*E.D.K.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar