Cerita Nyata Berdasarkan Pengalaman Albert
Kalauserang
Oleh Esther Deborah K.
Matahari menembus jendela dapur rumah
Kakek-ku dan menyinari kami berdua yang sedang berbincang-bincang di meja
tentang pengalamannya.
Dulu Kakekku, Albert, bekerja di sebuah
bank. Nama bank itu adalah Bank BNI, ia bekerja di unit 4. Pada tahun 1966 saat
“Ganyang Malaysia”, khususnya Makasar di
daerah Sulawesi Selatan, debentuk pasukan sukarelawan. Dia masuk batalion
Beruang (yang berisi dari bank-bank swasta dan pemerintah), resimen Alimalaka. Angkatan
Kakekku disebut angkatan ke-5.
“Yang menariknya di situ,” ia bilang,
“sukarelawan ditugaskan untuk melakukan operasi bersama-sama tentara.” Matanya
mulai berbinar-binar. Operasi itu dinamakan “Pagar Betis”. Tujuan operasi itu
adalah untuk memerangi Kahar Musakar (sekolompok pengacau). Sebelum itu, ia
mengikuti pelatihan keras seperti pelatihan militer sungguhan.
Kemudian ia bersama kawan-kawannya memasuki
pedalaman Sulawesi Selatan.
“Ini
sudah bukan latihan, ini benar-benar terjun ke dalam lapangan.” katanya sambil
berbinar-binar matanya.
Ia ke suatu daerah yang disebut Tandru
Tedong (yang berarti tanduk kerbau), Ana Banua. Tiap bulan ada pergantian
angkatan. Kebetulan ia adalah angkatan ke-empat.Angkatan pertama, kedua dan
ketiga memiliki musuh. Tetapi saat ia masuk, sudah tidak ada musuh untuk
dilawan.
Karena tidak ada kerjaan, kakekku dan
kawan-kawannya malah berburu burung. Peluru dibatasi, tapi karena mereka suka
berburu, mereka membutuhkan peluru-peluru ekstra. Ingat baik-baik bahwa semua
ini adalah orang-orang yang bekerja di bank dan memiliki uang yang banyak. Dari
pada menunggu untuk peluru yang akan dibagikan berikutnya, mereka justru
membeli peluru-peluru itu! Wah, peluru-peluru yang ia beli itu masih “baru-baru
berwarna kuning.”
Pernah suatu hari, kakekku berburu burung
Enggan. Karena burung enggan susah ditembak dan selalu mengelak, ia memiliki
trik hebat. Ia mengunggu untuk burung itu terbang melewatinya dari belakang.
Saat burung itu terbang melewatinya dengan “kecepatan maksimal” (seperti
katanya), ia langsung menembak.
“Duar!” katanya sambil berseri-seri.
“Wah! Kira-kira berapa tuh beratnya?” Aku
bertanya dengan entusias
“Kira-kira 5 kg.”
Aku tersenyum. Saat ia melanjutkan ceritanya, aku bertanya
burung itu diapakan. Ia menjawab bahwa malam itu ia makan-makan beserta
teman-temannya.
Ada lagi cerita yang menarik. Suatu saat,
ia berburu celeng (babi hutan). Ketika babi hutan itu tertangkap, ia memasak
babi hutan tersebut dalam kaleng mentega (kaleng mentega jaman dahulu
besar-besar, bisa dipakai untuk memasak). Katanya, ia “memasukkan bawang putih
dan merah banyak-banyak, lalu diberi kecap!”
Kebetulan, ia menumpang di rumah seorang
Bugis yang fanatik .
“Ini bau apa? Kok harum sekali?” kakekku
menirukan cara bertanya pemilik rumah itu ke dia.
Karena ia tidak mengerti bahasa bugis, ia
hanya menjawab “daging.”
Ada salah satu temannya yang ikut menumpang
bersama dia, dan bisa berbahasa bugis. Dengan segera, temannya yang satu itu
langsung memberitahu bahwa daging yang ia masak itu adalah babi
“Lalu pemilik rumah itu langsung muntah!”
ia berkata, dan menirukan cara orang itu muntah.
Kakekku melarikan diri bersama seorang
teman lagi. Temannya bernama Robert dan seorang Cina.
“Robert, lari!”
Mereka langsung melarikan diri dengan
terbirit-birit sampai ke sungai sambil membawa kaleng mentega berisi
santapannya itu. Lalu sesampainya di pinggir sungai, ia bersama Robert
memnyatap makanan itu.
Setelah semua itu berakhir, ia kembali ke
kehidupan biasa dan bekerja seperti pegawai normal. Ia menjual seluruh
peralatannya termasuk ranselnya.
“Dapat banyak uang?” aku bertanya.
“Oh iya, lalu uangnya dibelikan untuk
cincin pernikahan bersama nenek.” Ia menjawab, tersenyum lebar dan melirik
nenekku yang kebetulan sedang lewat. Aku juga melirik nenek, ia hanya diam
seolah tidak mendengar apa-apa.
Aku meringis lebar, geli melihat tingkah
laku nenekku.
“Kemudian?” aku bertanya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar